Oleh ADHITYA RAMADHAN
KOMPAS.com - Sejak tahun 1997 program nasional imunisasi hepatitis B dilaksanakan, tetapi hingga kini cakupannya rendah. Akibatnya, kasus hepatitis B masih tinggi. Padahal, imunisasi jadi kunci dalam memutus mata rantai penularan hepatitis B dari ibu kepada anak yang dikandungnya untuk mencegah penyebaran virus hepatitis.
Kasus penularan hepatitis B dari ibu kepada bayi yang dikandung di Tanah Air terus terjadi. Salah satu penyebabnya ialah penderita tak tahu telah terinfeksi virus tersebut. Ida (47), penderita hepatitis B, misalnya, menuturkan, saat hamil anak keduanya pada tahun 2000, ia disarankan memeriksakan diri lebih lanjut oleh dokter di Rumah Sakit Harapan Kita, tempat dia berobat. Sebab, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan ada kelainan pada darah.
Namun, karena tak merasakan gejala apa pun, merasa repot kalau harus periksa, dan biaya pemeriksaan mahal, Ida yang tinggal di Ciledug itu tak memeriksakan dirinya. Ia juga tak begitu ingat apakah anak keduanya saat lahir mendapat imunisasi hepatitis B.
Ida baru memperhatikan kesehatannya setelah mendapat surat dari Palang Merah Indonesia seusai ikut donor darah. Surat itu merekomendasikan dirinya agar tak donor darah dan segera menjalani pemeriksaan. Lalu ia membawa semua dokumen catatan kesehatannya ke dokter umum. Dari situ, ia didiagnosis hepatitis B.
Hasil pemeriksaan memakai fibroscan menunjukkan, ia memasuki fase awal sirosis hati. Organ hatinya mulai mengeras. "Ibu saya dulu meninggal karena lever, entah hepatitis B atau C. Ayah saya juga sama. Kemungkinan ayah tertular dari ibu karena saudara ibu juga ada yang sakit hepatitis," ujarnya.
Setelah kedua anaknya diperiksa, anak pertama Ida yang berusia 18 tahun positif terinfeksi hepatitis B. Meski tak ada obat yang harus diminum, anaknya mesti rutin memeriksakan kesehatan organ hatinya.
Peradangan sel hati
Hepatitis merupakan peradangan sel-sel hati akibat infeksi (virus, bakteri, atau parasit), obat-obatan, konsumsi alkohol, lemak berlebihan, dan penyakit autoimun. Transmisi vertikal dari ibu hamil positif hepatitis ke janin yang dikandung jadi cara penularan hepatitis B terbanyak di Indonesia.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007 menunjukkan, prevalensi hepatitis B di Indonesia 9,4 persen. Diperkirakan, 28 juta orang Indonesia terinfeksi virus hepatitis B dan C serta 2,8 juta kasus di antaranya jadi kronis.
Senior Research Fellow and Specialist Physician Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof David Handojo Muljono, mengatakan, Riskesdas 2007 menunjukkan, ada 7,32 persen populasi di kelompok usia 1-4 tahun yang punya antigen hepatitis B (HBsAg) positif. Artinya, ada anak balita terinfeksi hepatitis dari ibunya.
Dalam kajian serologi dan biomolekuler pada 943 ibu hamil di Makassar, Sulawesi Selatan, Juni-Agustus 2014, ditemukan 6,8 persen ibu hamil positif hepatitis B. Virus itu ditemukan pada tali pusat (10,93 persen) dan plasenta (21,67 persen).
Seumur hidup
Bayi yang terinfeksi virus hepatitis B dari ibunya akan hidup dengan virus itu dalam tubuhnya seumur hidup. Jika tak dikendalikan, hepatitis akan jadi kronis dan berujung pada pengerasan hati (sirosis), bahkan kanker hati. Itu akan mempersulit pengobatan dan membutuhkan biaya amat besar.
Hepatitis yang pada fase awal tak menimbulkan gejala spesifik itu muncul kapan saja dan merenggut nyawa dalam senyap. Banyak pasien hepatitis B baru berobat setelah terjadi sirosis.
Meski banyak orang terinfeksi hepatitis B dan jadi sumber penularan bagi orang lain, kesadaran warga terhadap pentingnya imunisasi bagi anaknya belum sepenuhnya terbangun. Banyak orang menyepelekan, bahkan menolak imunisasi.
Padahal, penularan hepatitis B dari ibu ke bayi bisa dicegah dengan imunisasi. Pemerintah juga menerapkan program nasional imunisasi hepatitis B (HB) sejak 1997. Namun, kasus hepatitis B di Indonesia tetap tinggi akibat cakupan imunisasi rendah dan tak lengkap.
Data Direktorat Surveilans, Imunisasi, Karantina, dan Kesehatan Matra (Simkarkesma) Kementerian Kesehatan 2014 memperlihatkan, cakupan imunisasi hepatitis B pada bayi kurang dari 7 hari 85,8 persen. Namun, imunisasi HB pada bulan pertama, kedua, dan ketiga setelah lahir kurang dari 55 persen. Cakupan imunisasi HB kombinasi pentavalen 5 antigen DPT-HB-Hib bulan pertama setelah lahir hanya 52 persen.
Kondisi per 22 Juli 2015 menunjukkan, cakupan imunisasi pada bayi lahir kurang dari 7 hari hanya 35 persen. Cakupan imunisasi DPT-HB-Hib bulan pertama, kedua, dan ketiga setelah lahir berturut-turut ialah 37,4 persen, 36,8 persen, dan 36,6 persen.
Direktur Simkarkesma Kemenkes Wiendra Waworuntu menjelaskan, banyak orangtua merasa cukup dengan imunisasi saat bayi lahir. Mereka tak kembali datang ke fasilitas kesehatan untuk melengkapi imunisasi dasar lengkap anak mereka. "Banyak orangtua tak datang ke posyandu untuk memeriksakan anaknya sehingga imunisasi dasar lengkap pada bayinya terhenti," kata Wiendra.
Anggota Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Hartono Gunardi, menekankan pentingnya imunisasi HB pada bayi baru lahir kurang dari 12 jam. "Imunisasi tak lebih dari 12 jam setelah lahir bisa melindungi anak dari virus hepatitis B 60-70 persen," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.