Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan seorang pasien yang memiliki keluhan sesak nafas (dyspnea). Sebut saja Tuan N, berusia 64 tahun. Waktu saya temui, beliau terlihat berbaring lemas dan terpasang alat bantu bernafas (selang oksigen). Meski dalam kondisi yang lemas, beliau masih dalam keadaan compos mentis/sadar normal. Setelah saya membaca diagnosis medis, beliau didiagnosis PPOK ( Penyakit Paru Obstruktif Kronis) .
Setelah menanyakan keluhannya, saya mulai mencoba melakukan skrinning gizi untuk mengetahui berisiko malnutrisi atau tidak. Beberapa pertanyaan yang dapat mewakili risiko pasien pun dijawabnya, dan hasilnya Tn N memiliki risiko untuk malnutrisi karena adanya penurunan berat badan yang tidak dikehendaki dan penurunan nafsu makan beberapa akhir ini.
Faktor utama yang dapat menjadi pencetus munculnya penyakit ini adalah kebiasaan merokoknya, yaitu sebanyak 2-3 bungkus/hari.
Merokok adalah salah satu penyebab kematian di seluruh dunia. Penyakit jantung koroner, kanker paru dan penyakit paru obstruktif kronis adalah contoh penyakit yang dapat disebabkannya.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran pernapasan dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel gas yang beracun dan berbahaya.
Kebiasaan merokok merupakan penyebab penting dan utama dalam kasus ini. Namun , bukan berarti hanya berisiko bagi si perokok, tapi juga perokok pasif. Faktor lainnya bisa juga terjadi akibat sering terpapar polusi dalam waktu yang lama. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang sering ditemukan di Indonesia dan lebih banyak terjadi pada pria karena pria lebih banyak yang merokok.
Jika Sudah PPOK, Bagaimana?
Pada pasien PPOK, risiko terjadi malnutrisi memang tidak bisa dihindarkan. Adanya peningkatan kebutuhan energi , karena kondisi fisiologis seperti adanya sesak napas menjadi salah satu penyebabnya. Otot-otot pernafasan pada penderita PPOK memerlukan 10 kali kalori lebih banyak daripada orang tanpa PPOK.
Dalam hal ini pun pemberian diet pasien perlu diperhatikan, karena pemberian diet tinggi karbohidrat justru dapat menjadi memperparah kondisinya. Hal ini disebabkan karena pada pembakaran karbohidrat akan menghasilkan karbondioksida yang perlu dikeluarkan juga. Ada baiknya bagi penderita PPOK mendapatkan terapi diet rendah karbohidrat tinggi lemak.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.