Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/11/2015, 14:19 WIB
Oleh: M Zaid Wahyudi

Sel punca adalah terapi baru dalam dunia medis. Meski masih dalam tahap penelitian dan belum jadi layanan standar, hasilnya cukup menggembirakan. Keberhasilan itu membuat para ahli yakin terapi sel punca akan jadi tren masa depan, menggantikan terapi konvensional dengan obat atau suntik.

Musa Asy'arie (64), Guru Besar Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, telah merasakan manfaat terapi sel punca. Sejak menderita diabetes melitus 10 tahun lalu, kadar gula darahnya selalu di atas normal. Berbagai pengobatan dilakukan, termasuk ke sebuah rumah sakit di Singapura. Namun, gula darahnya tetap tinggi.

Atas saran teman, ia mencoba terapi sel punca di RSUD dr Soetomo Surabaya, enam bulan lalu. Setelah tiga kali penyuntikan sel punca yang diambil dari sumsum tulang belakang, fungsi pankreasnya naik dari 30 persen jadi hampir 100 persen. Kadar gula darahnya turun mendekati normal. Jumlah dan dosis obat yang diminum pun berkurang.

"Sekarang diabetes tak menakutkan lagi. Selain tubuh lebih ringan, saya bisa melakukan berbagai aktivitas yang berguna bagi orang lain," ujarnya.

Manfaat serupa dituturkan Andi Muhammad Ardan (32), mahasiswa semester 10 program dokter spesialis bedah plastik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair). Pada 2013, ia dinyatakan mengalami sirosis hati level lanjut, 75 persen hatinya jadi jaringan ikat.

Akibatnya, berat badannya turun drastis. Kemampuannya mengoperasi hanya 2-3 jam, padahal tuntutan profesi mengharuskan ia harus bisa mengoperasi 7-8 jam. Itu sempat membuatnya putus asa dan berniat mundur dari pendidikan. Apalagi, sirosis tahap lanjut belum ada obatnya dan berpeluang jadi karsinoma atau kanker.

Atas saran rekan seprofesi, ia ikut terapi sel punca di almamaternya. Setelah disuntik sel punca dari jaringan lemak di perutnya tiga kali selama tiga bulan, berat badannya naik 17 kilogram.

Nilai serum glutamic oxaloacetic transaminase dan serum glutamic pyruvate transaminase sebagai indikator kesehatan hati juga normal. "Operasi 12-14 jam pun tak masalah," tuturnya.

Ada pula Rio Gunawan (32), karyawan bank swasta asing di Jakarta, yang patah tulang paha pada 2009. Berbagai terapi dijalani, mulai pasang pen, delayed union atau penyambungan tulang yang tertunda pada 2010, dan bone graft atau cangkok tulang pada 2011. Semua tak memberi hasil memuaskan.

Lalu, ia disarankan melakukan nailing atau pemasangan sejenis pelat atau paku pada tulang patah. Namun, metode itu berisiko jika kondisi tulangnya tak mendukung. Lalu, ia dianjurkan menjalani terapi sel punca di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Meski sempat ragu karena terapi itu baru di Indonesia, ia berani mencoba setelah tahu ada aturan Menteri Kesehatan yang mengatur terapi sel punca. Terapi dilakukan dengan mengambil sel punca dari sumsum tulang belakangnya.

Hasilnya, "Dulu saya harus jalan memakai kruk (tongkat). Kini, saya bisa jalan tanpa kruk sambil menggendong anak," ujarnya.

Shutterstock Ilustrasi
Penyakit degeneratif

Terapi sel punca mulai dikembangkan di dunia pada 1996 dan di Indonesia pada 2007. Terapi dilakukan dengan menyuntikkan sel punca ke pasien untuk memperbaiki organ atau jaringan tubuh yang rusak.

Sel punca bisa diambil dari embrio, darah tali pusat bayi baru lahir dan dari orang dewasa. Sel punca embrio belum dikembangkan di Indonesia karena etikanya diperdebatkan. Sel punca dewasa bisa diambil dari tubuh pasien sendiri (autologous) atau orang lain (allogenic).

"Sel punca dari embrio dan darah tali pusat potensinya amat besar, tetapi risiko tumbuh ke arah keganasan besar," kata Andri Lubis, Kepala Bagian Penelitian RSCM yang juga pengembang terapi sel punca tulang rawan.

Tingkat penolakan sel punca yang diambil dari tubuh pasien jauh lebih kecil daripada diambil dari orang lain.

Sel punca bisa untuk terapi penyakit degeneratif atau terkait penurunan fungsi tubuh, mutasi dan keganasan sel. Beberapa penyakit yang bisa diterapi adalah jantung koroner, pelemahan pompa jantung, diabetes melitus, stroke, parkinson, kanker, dan gangguan tulang.

"Semua penderita penyakit degeneratif bisa diterapi dengan sel punca, tak ada batasan usia," kata Sekretaris Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca Surabaya yang juga dokter penyakit dalam pengembang sel punca RSUD dr Soetomo Purwati. Pemeriksaan oleh dokter menentukan bisa tidaknya seseorang diterapi sel punca.

Karena masih tahap riset di seluruh dunia, terapi sel punca belum jadi layanan standar. Banyak aspek terapi perlu dioptimalkan dan diteliti sebelum diterapkan pada layanan rutin. Akibatnya, biaya terapi belum ditanggung asuransi kesehatan.

Namun, biaya terapi di Indonesia jauh lebih murah dibanding di Tiongkok, apalagi di Eropa. Bahkan, sejumlah pasien bisa dibiayai dari dana riset.

Meski demikian, mutu terapi sel punca di Indonesia tak kalah dibandingkan negara lain. Dari 379 pasien yang diterapi di RSUD dr Soetomo, perbaikan pasien diabetes 30-100 persen dan nyeri sendi lutut 60-70 persen. Perbaikan pasien stroke 50 persen dan penyakit jantung 60- 80 persen. Hal serupa ditunjukkan peserta terapi di RSCM.

Meski menjanjikan, pasien perlu cermat menerima tawaran terapi sel punca. Di Indonesia, terapi baru dikembangkan di RSCM dan RSUD dr Soetomo. Klaim keberhasilan tanpa ditopang riset memadai perlu diwaspadai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau