"Antibiotik bukan untuk mencegah infeksi bakteri dan virus. Kalau enggak perlu antibiotik ya enggak usah," ujar Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba ( KPRA) Kementerian Kesehatan RI, dokter Harry Parathon dalam diskusi di Jakarta, Kamis (21/1/2016).
Harry menjelaskan, resistensi antibiotik bisa disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien menggunakan antibiotik. Selain itu, juga karena kebiasaan minum antibiotik saat sakit sehingga penggunaannya berlebihan.
Harry menyayangkan, masyarakat bisa dengan mudah membeli antibiotik di apotek, warung, atau kios. Padahal, antibiotik tidak boleh dijual bebas dan hanya bisa diberikan berdasarkan resep dokter. Bahkan, sejumlah masyarakat di Indonesia diketahui menyimpan antibiotik cadangan di rumah.
Ancaman resistensi antibiotik membuat tenaga kesehatan dan masyarakat harus bijak dan rasional dalam menggunakan antibiotik.
Harry mengungkapkan, resistensi antibiotik bisa menyebabkan kematian karena antibiotik tak lagi mampu membunuh kuman atau bakteri penyebab penyakit. Resistensi antibiotik kini menjadi permasalahan serius yang dibahas di seluruh dunia.
Pada tahun 2050, diperkirakan ada 10.000.000 kematian akibat resistensi antimikroba tiap tahunnya, termasuk 4,6 juta kematian di Asia.
Di Thailand, angka kematian akibat resistensi antibiotik mencapai 38.000 orang per tahun dan di Indonesia diperkirakan 135.000 orang meninggal per tahunnya karena resistensi antibiotik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.