KOMPAS.com - Kanker merupakan penyebab kematian terbesar kedua di dunia setelah jantung dan stroke. Biaya pengobatan yang mahal membuat pasien kanker yang belum terlindungi jaminan kesehatan harus menanggung beban ekonomi yang tinggi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, jumlah penderita kanker bisa meningkat 300 persen di seluruh dunia tahun 2030. Sekitar 70 persen dari jumlah tersebut berada di negara berkembang seperti Indonesia.
Menurut penelitian harga obat kanker di beberapa negara, Amerika Serikat memiliki biaya obat paling mahal di dunia untuk penyakit kanker. Meski demikian, harga obat tersebut masih terjangkau oleh warganya karena pendapatan perkapitanya tinggi.
Harga obat kanker paling murah ada di India dan Afrika Selatan. Tapi, setelah memperhitungkan prosentase tingkat ekonomi dan biaya hidup warganya, harga obat kanker justru paling tidak terjangkau di India dan China.
Dalam hal keterjangkauan obat, ternyata Australia merupakan negara yang warganya paling mampu. Untuk obat kanker generik, harganya sekitar 3 persen dari kemampuan membeli perkapitanya. Sementara obat paten sekitar 71 persen.
Bandingkan dengan China, di mana harga obat generik 48 persen dan obat paten 288 persen dari pendapatan yang disesuaikan dengan biaya hidup.
Peneliti dari Israel yang melakukan penelitian itu memaparkan hasilnya dalam pertemuan tahunan American Society of Clinical Oncology beberapa waktu lalu.
Tim peneliti menghitung biaya bulanan yang harus dikeluarkan pasien untuk 15 obat kanker generik dan 8 obat paten untuk mengobati berbagai jenis kanker dan stadiumnya. Penelitian harga obat dilakukan di Australia, China, India, Afrika Selatan, Inggris Raya, Israel, dan AS.
Harga obat kanker yang tinggi menyebabkan tuntutan pengurangan harga dari berbagai pihak. Akan tetapi, perusahaan farmasi beralasan mereka harus menghasilkan profit untuk membiayai riset jutaan dolar.
Selain itu, cukup banyak farmasi yang memiliki skema obat murah atau akses gratis bagi pasien yang tidak mampu.
Meski Indonesia tidak masuk dalam penelitian tersebut, tetapi biaya pengobatan kanker di sini juga mahal. Kehadiran BPJS Kesehatan memang sangat membantu, namun belum semua obat kanker dan terapi ditanggung oleh BPJS.
Hasil studi Asean Costs in Oncology (ACTION) di Indonesia, menunjukkan, biaya terapi yang ditanggung sendiri mencapai 24 persen dari biaya rumah tangga dan menjadi beban keuangan.