Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lusia Kus Anna
Wartawan

Wartawan, menyukai isu-isu kesehatan dan parenting, penikmat film.

Sia-siakah Memvaksin Anak Kita?

Kompas.com - 29/06/2016, 11:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Dalam beberapa hari terakhir ini, banyak orangtua yang masih memiliki buah hati berusia bayi dan balita, diliputi kegelisahan dan takut dengan kabar beredarnya vaksin palsu.

Meski kepolisian sudah menangkap belasan tersangka produsen dan pemasar vaksin palsu, namun orangtua tetap cemas apakah anak mereka sudah mendapat vaksin asli dan terlindungi dari kekebalan penyakit. Terlebih jaringan pemalsu vaksin baru terkuak setelah 13 tahun.

Kementrian Kesehatan dan Badan Reserse Kriminal Polri belum membuka data rumah sakit atau layanan kesehatan mana saja yang terbukti membeli vaksin dari jaringan pengedar vaksin palsu. Para orangtua masih harus menanti dalam ketidakpastian.

Imunisasi memang topik yang selalu hangat di Indonesia. Sebelum munculnya kasus pemalsuan vaksin, para orangtua pun sudah terpecah antara yang pro dan anti-imunisasi.

Di dunia tanpa sekat sekarang, media sosial menjadi wahana baru yang mempercepat penyebaran keraguan terhadap program imunisasi, apalagi dengan pendekatan keagamaan yang meyakinkan.

Pengaruh yang kuat dari masyarakat yang anti imunisasi ini membuat banyak orangtua akhirnya merasa tidak butuh vaksinasi untuk melindungi anaknya dari kuman atau virus penyebab penyakit.

Ketika muncul berita tentang peredaran vaksin palsu, orangtua yang selama ini memilih tidak mengimunisasi anaknya merasa mendapat pembenaran baru dari tindakannya.

Hak anak

Imunisasi sesungguhnya adalah hak anak. Setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat. Namun, hak tersebut memang dipengaruhi oleh sikap orangtua mereka terhadap imunisasi.

Dan melihat kondisi sekarang, hak itu juga dicabut oleh sejumlah orang yang ingin mendapat keuntungan ekonomi dengan mengorbankan kesehatan anak-anak.

Orangtua yang menolak imunisasi mungkin tak mengalami hidup saat ada wabah penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi terjadi dan menelan korban jiwa. Memang setelah angka kejadian penyakit turun dan jarang terjadi, orang menjadi lengah.

Kasus di Amerika Serikat bisa menjadi contoh.  Laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan penyakit (CDC) AS menyatakan, pada Januari 2015 hingga 17 April 2015, ada 162 kasus campak yang tersebar di 19 negara bagian. Sumber penularan diketahui dari seorang anak yang tidak divaksin lalu tertular virus ini dan menularkannya ke anak-anak lain.

Sementara itu di Padang pada tahun 2012 terjadi wabah difteri. Hasil penelusuran mengungkap, setelah adanya seminar antivaksin tahun 2012 di Sumatera Barat, imunisasi dalam dua tahun setelahnya menurun drastis, dari 93 persen menjadi 35 persen.

Penyakit difteri yang menyerang saluran pernapasan atas ini mengakibatkan dua korban anak-anak meninggal dunia karena tidak divaksinasi. Padahal, difteri bisa dicegah dengan imunisasi DPT yang sudah diwajibkan pemerintah.

Memang ada anak yang tidak divaksin tetapi sehat-sehat saja. Kemungkinan besar anak tersebut mendapat efek perlindungan dari lingkungan di sekitarnya yang sudah mendapat vaksin.

Tetapi, agar wabah penyakit tak muncul, cakupan anak yang divaksin harus di atas 80 persen. Jika cakupan imunisasi tinggi, manfaat pencegahan penularan penyakit juga lebih nyata.

Mengingat jumlah bayi dan anak di Indonesia jutaan orang, untuk mencapai cakupan yang tinggi perlu kerja sama semua pihak, baik pemerintah, petugas kesehatan, maupun masyarakat.

Selain itu, ancaman virus dan bakteri yang semakin besar karena mudahnya perjalanan orang antar negara, seharusnya membuat orangtua lebih berhati-hati melindungi anaknya. Imunisasi adalah cara paling efektif untuk mencegah penyakit.

Upaya hidup bersih dan juga obat-obatan herbal memang bisa meningkatkan kekebalan tubuh, tetapi tidak dapat menggantikan imunisasi karena untuk mencegah penyakit diperlukan antibodi yang meningkat tajam. Hal ini belum dapat dicapai tanpa pemberian vaksin.

Jaminan

Mengingat pentingnya vaksin bagi kesehatan anak kita, maka pemalsuan vaksin merupakan sebuah kejahatan luar biasa.

Kita boleh sedikit lega karena Presiden Joko Widodo menegaskan akan menghukum berat sindikat vaksin palsu. Dengan begitu, kita berharap kejahatan ini tidak terulang lagi di kemudian hari.

Masyarakat juga menaruh harapan besar pada pemerintah agar pengawasan vaksin dan obat diperkuat agar kita bisa memenuhi hak anak atas kesehatan.

Walau awam, bahkan dokter, mungkin sulit membedakan secara langsung vaksin asli dan palsu, tetapi orangtua diharapkan tetap tenang. Jangan sampai orangtua tidak mengimunisasi anaknya karena kasus ini karena akibatnya justru lebih merugikan. Buang jauh-jauh juga perasaan percuma memberikan vaksin pada anak.

Kementrian Kesehatan menyarankan agar orangtua tetap memberikan anak-anaknya imunisasi dasar. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan, HM Subuh mengatakan, 89 persen imunisasi dasar dilakukan di puskesmas, posyandu, hingga pos-pos yang didirikan pemerintah.

Bila orangtua tidak yakin apakah anaknya sudah mendapat vaksin asli atau palsu, tidak ada salahnya melakukan vaksinasi ulang. Sekretaris Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Hindra Irawan Satari, mengatakan tak ada efek tambahan bagi anak jika dilakukan vaksin ulang.

Pemberian vaksin ulang akan membuat anak yang sebelumnya dapat vaksin palsu akan mendapat kekebalan. Yang sudah dapat vaksin asli akan mendapat kekebalan baru.

Pemerintah menyediakan layanan vaksinasi ulang dan menjamin keaslian vaksin di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah (fasyankes). Masyarakat juga bisa memilih rumah sakit dan dokter terpercaya. Bila ada keraguan, tak perlu sungkan mengungkapkannya kepada tenaga kesehatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com