Oleh ADHITYA RAMADHAN
KOMPAS.com - Dua puluh sembilan tahun silam, Yuliana dan Yuliani adalah kisah kembar siam yang mendebarkan. Kini, mereka tak kenal lelah menggapai mimpi. Yuliana ialah mahasiswa program doktoral, sementara Yuliani menjadi dokter.
Kisah mereka bermula tahun 1987, saat kembar siam Yuliana-Yuliani, anak pasangan Tularji dan Hartini dari Tanjung Pinang, terlahir kembar siam dempet di kepala secara vertikal (kraniopagus). Pada usia 2 bulan 21 hari, kembar siam itu menjalani operasi di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Adalah Padmosantjojo, ahli bedah saraf RSCM saat ini, berperan banyak pada operasi pemisahan si kembar. Dengan ketelitiannya, pria kelahiran Kediri, 26 Februari 1937, itu memisahkan selaput otak (duramater) yang berlekatan dengan pisau bedah biasa dan mata telanjang. Operasi pada 21 Oktober 1987 itu jadi tonggak sejarah bidang kedokteran di Indonesia, khususnya bedah saraf.
Bagi Padmosantjojo, operasi Yuliana-Yuliani menjadi karya adiluhung (masterpiece) dalam kariernya sebagai dokter. "Aku tak ingin karyaku rusak, mati karena mencret misalnya. Maka harus aku openi (rawat)," ujarnya di rumahnya, Selasa (16/8).
Bantuan dana
Akhirnya, tak hanya mengoperasi secara gratis, Padmosantjojo juga membawa Yuliana-Yuliani dan orangtuanya ke Jakarta. Padmosantjojo mencarikan rumah untuk ditinggali keluarga itu. Ia mendukung pemenuhan kebutuhan nutrisi si kembar dan memantau tumbuh kembang mereka selama di Jakarta. Sebab, baginya, masa di bawah usia 5 tahun jadi fase penting pertumbuhan otak seseorang.
Setelah kembar Yuliana-Yuliani dan orangtuanya pulang ke Tanjung Pinang pun, Padmosantjojo tetap memberikan dukungan dana untuk keperluan pendidikan kembar itu hingga kini. "Ternyata bisa, tuh, Yuliana-Yuliani sampai lulus universitas. Saya senang," kata Padmosantjojo sambil tersenyum.
Kini, Yualiana-Yuliani telah dewasa. Yuliani jadi dokter dari Universitas Andalas (Unand), Padang, dan sedang menjalani program internsip di Puskesmas Seberang Padang, Kota Padang, Sumatera Barat. Sementara Yuliana sedang menempuh program doktor ilmu nutrisi dan teknologi di Institut Pertanian Bogor (IPB) semester ketiga.
Yuliana menuturkan, meski pernah menjalani operasi pemisahan kepala dengan risiko tinggi, ia dan kembarannya mampu bersaing dengan anak lain yang terlahir normal di bidang pendidikan. Bahkan, capaian mereka terbilang luar biasa.
Yuliana lulus sarjana ilmu nutrisi dan makanan dari Unand dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 4. Begitu juga saat ia menyelesaikan program magister ilmu nutrisi dan teknologi di IPB. Kini, ia menargetkan program doktornya rampung kurang dari tiga tahun.
Menurut Yuliana, pengalaman hidup menjalani operasi pemisahan membentuk mereka seperti saat ini. Banyak pihak berkontribusi dalam keberhasilan mereka, yakni orangtua, Pakde, begitu kembar Yuliana-Yuliani biasa memanggil Padmosantjojo, dan masyarakat yang mendoakan agar operasi pemisahan tahun 1987 silam berhasil.
Oleh karena itu, Yuliana menjadikan hidupnya sebagai ucapan terima kasih kepada mereka yang berjasa dalam hidupnya. "Kami ingin membuat bangga orangtua, Pakde juga. Mereka tersenyum bangga atas prestasi kami sudah cukup bagi saya," ujarnya.
Yuliana menambahkan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, tanggung jawab sosial terhadap masyarakat pun kian tinggi. Itu yang selalu diajarkan orangtua dan Pakde.
Saat dihubungi dari Jakarta, Yuliani menyampaikan, operasi pemisahan oleh Pakde memungkinkan mereka meraih capaian seperti sekarang. Jika tak dioperasi saat itu, amat mungkin ia menghabiskan hidup dengan terbaring karena sulit bergerak akibat kembar siam.
Sumber inspirasi
Setelah operasi pemisahan, Pakde jadi sumber inspirasi bagi si kembar Yuliana-Yuliani. Sebagai dokter, Yuliani dididik Pakde agar tak berorientasi uang. Pakde mengajarkan, motivasi jadi dokter seharusnya menolong sesama. "Pakde selalu mengajar kami berbagi dengan orang lain dan memberi manfaat bagi orang banyak," ucap Yuliani.
Padmosantjojo selama di RSCM selalu menggratiskan bedah saraf yang dilakukannya. "Saya dibayar 2M per pasien. Makasih, Mas. Matur nuwun, Mas," ujarnya sambil tertawa.
Menurut Padmosantjojo, perhatiannya pada kembar Yuliana-Yuliani juga merupakan bentuk protes kepada pemerintah yang disampaikan dengan contoh nyata. Bahwa untuk memberi akses layanan kesehatan tak perlu jargon politik, hanya perlu empati dan kemauan menolong mereka yang membutuhkan.
Padmosantjojo, yang belajar bedah saraf di Rijk Universiteit, Groningen, Belanda, menyatakan, 71 tahun Indonesia merdeka, tetapi akses warga pada layanan kesehatan, khususnya bedah saraf, belum merata. Tidak semua warga bisa mengakses layanan bedah saraf. Sejumlah provinsi belum punya dokter spesialis bedah saraf. Itu membuat pasien yang butuh menjalani bedah saraf bisa meninggal karena tak tertangani.
Penghargaan prestasi dokter bedah saraf pun seolah enggan dilakukan pemerintah. Padmosantjojo pernah ditawari bekerja di Belanda dan akan dikukuhkan sebagai guru besar di Groningen, tetapi ia memilih balik ke Indonesia. "Demi bangsa," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Ke depan, Yuliana ingin membagi ilmunya dengan menjadi dosen atau peneliti. Sementara Yuliani ingin meneruskan pendidikan dokter spesialis bedah saraf seperti Pakde, sumber inspirasinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.