JAKARTA, KOMPAS — Jaminan Kesehatan Nasional berjalan hampir tiga tahun. Namun, kerja sama rumah sakit sebagai pemberi layanan rujukan dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan masih menghadapi kendala. Perbaikan terus mendesak dilakukan agar JKN bisa berjalan optimal melindungi seluruh rakyat pada 2019.
Hingga September 2016, 65 persen penduduk Indonesia tercakup dalam JKN. Paling lambat 1 Januari 2019, semua warga ditargetkan jadi peserta program yang kini bernama JKN-Kartu Indonesia Sehat. Itu butuh kesiapan banyak pihak, termasuk rumah sakit (RS) sebagai pemberi layanan tingkat lanjut.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, pada Pertemuan Nasional Manajemen RS, di Jakarta, Rabu (28/9) malam, mengatakan, di tahun pertama penerapan JKN, muncul banyak keluhan terkait aturan, termasuk dari RS. Berbagai strategi dilakukan agar kerja sama dengan fasilitas kesehatan optimal dan layanan bagi peserta membaik.
Dari sekitar 2.500 RS di Indonesia, 1.800 RS bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Dari jumlah itu, lebih dari 80 persennya ialah RS milik pemerintah yang wajib ikut JKN. Tantangan terbesar adalah menarik kian banyak RS swasta ikut JKN.
"Pemanfaatan pelayanan di RS terus naik selama dua tahun JKN," kata Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo. Pada 2014-2015, kasus yang ditangani RS naik hampir 50 persen dari 31 juta menjadi 46 juta kasus. Adapun peserta JKN yang rawat jalan dan inap di RS naik dari 9,1 juta jiwa menjadi 13,5 juta jiwa.
Tren itu diyakini akan naik seiring bertambahnya peserta dan fasilitas kesehatan di JKN. Padahal, tingkat kepuasan manajemen fasilitas kesehatan rujukan pada JKN 2015 baru 67,14, lebih rendah dari kepuasan peserta JKN pada layanan fasilitas kesehatan rujukan senilai 79,85.
Kendala
Kerja sama RS dan BPJS Kesehatan belum optimal juga diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Kuntjoro AP, Kamis (29/9). Kendala RS, antara lain, verifikasi memicu beda pendapat tentang kriteria verifikasi antara petugas administrasi RS dan verifikator BPJS Kesehatan.
"Ada peraturan menteri kesehatan dan petunjuk teknis koding. Namun, pada beberapa kasus, verifikator punya penilaian berbeda," ucapnya. Itu membuat verifikasi klaim jadi lama meski pencairan klaim 15 hari setelah berkas lengkap selalu terpenuhi.
Masalah lain adalah terganggunya ketersediaan obat dan alat kesehatan. Lonjakan pasien RS memicu kelangkaan obat. Itu banyak terjadi di RS swasta yang belum mempunyai akses ke pembelian obat secara elektronik.
Ketua Komisi Monitoring dan Evaluasi Dewan Jaminan Sosial Nasional Zaenal Abidin berharap BPJS Kesehatan membenahi sistem pengadaan obat karena memengaruhi layanan JKN. Pihak RS tidak bisa minta tambahan biaya kepada pasien karena termasuk pungutan liar, tetapi harus menyediakan obat itu dengan harga 2-3 kali lebih mahal dari harga pembelian elektronik.
Selain itu, pengelompokan tarif INA-CBGs kurang baik, khususnya perawatan intensif dan inap jangka panjang. Akibatnya, RS mengeluarkan biaya lebih dibanding tarif yang bisa diklaim. "Variasi tarif antartipe atau antarkelas RS harus diperbaiki demi mendukung rujukan berbasis kompetensi," kata Kuntjoro.
Zaenal menambahkan, BPJS Kesehatan harus mempercepat perbaikan banyak hal agar pelayanan JKN lebih baik. Tantangan BPJS Kesehatan ialah memastikan keseimbangan pendapatan dari iuran peserta dan pembayaran tarif. (C04/MZW)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2016, di halaman 14 dengan judul "Kerja Sama RS-BPJS Kesehatan Terkendala".