KOMPAS.com - Pertama kali muncul di Indonesia sejak tahun 1968 dan menyebabkan banyak korban jiwa, demam berdarah dengue akhirnya bisa dicegah dengan vaksinasi.
Menciptakan vaksin adalah pekerjaan yang melelahkan dan lama. Bukan hanya ribuan jam yang harus dihabiskan di laboratorium, tapi juga uji klinis di lapangan untuk menguji efektif tidaknya vaksin ini.
Jauh sebelum diuji coba pada manusia, vaksin atau obat harus diuji pada hewan. Jika hasilnya tidak konsisten dan tidak aman pada responden, sudah pasti vaksin yang sudah ditemukan itu tidak akan bisa dipakai dan dipasarkan.
Untuk uji klinis vaksin dengue di Indonesia, Prof Sri Rezeki Hadinegoro, Sp A(K) sejak awal diminta terlibat dalam penelitian ini.
Sri menceritakan, Indonesia sebenarnya sudah lama eksis di dunia internasional dalam upaya pemberantasan demam berdarah dengue, termasuk dalam kancah penelitian.
Ketika diajak untuk bergabung sebagai penulis utama penelitian vaksin dengue di Indonesia, Sri sangat bersemangat. Apalagi Guru Besar kesehatan anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini memang lekat dengan vaksin. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Penyakit demam dengue sebenarnya sudah ditemukan di Indonesia puluhan tahun lalu, tetapi angka kejadiannya bukan menurun tapi terus meningkat. Angka kematiannya juga tidak kecil karena tidak ada obatnya. Pencegahan harus menjadi kunci.
"Karena kasusnya tiap tahun terus ada, akhirnya lama kelamaan kita terlena, padahal dari data penyakit ini masih jadi penyebab kematian," kata Sri.
Anak sekolah
Di Indonesia, tim peneliti yang diketuai oleh Sri harus mengurus izin ke pemerintah, mulai dari tingkat gubernur sampai kelurahan, termasuk puskesmas.
"Karena subyek penelitiannya anak sekolah, kami juga harus minta izin ke Kementerian Pendidikan dan kepala sekolah. Semuanya harus presentasi tentang penelitian ini ke tiap-tiap jenjang birokrasi," katanya.
Setelah dua tahun mengurus izin, akhirnya penelitian pun bisa dilakukan. Ada sekitar 1.800 anak usia sekolah dari Jakarta, Bandung, dan Denpasar, yang terlibat dalam penelitian.
Kriteria anak yang menjadi sukarelawan penelitian adalah anak sehat, usia sekolah, dan mendapat izin dari kedua orangtuanya. "Itu juga tantangan tersendiri, karena ada yang ibunya sudah tanda tangan setuju, tahu-tahu ayahnya datang sambil marah-marah dan tidak memberi izin. Kami pun harus pelan-pelan memberi penjelasan," ujarnya.
Mengapa anak usia sekolah menjadi pilihan, menurut Sri, hal itu karena alasan kemudahan pemantauan saja. "Karena kami harus memantau selama 5 tahun, jadi setiap relawan harus mudah dihubungi. Kalau anak tidak masuk sekolah kami tinggal telepon gurunya atau orangtuanya," katanya.
Setiap anak yang menjadi sukarelawan penelitian memang dipantau terus menerus kesehatannya oleh tim peneliti. Sekecil apa pun gangguan kesehatannya.