Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/12/2016, 09:05 WIB
Lily Turangan

Penulis

KOMPAS.com - Kanker paru-paru adalah kanker pembunuh wanita nomor satu. Tingginya risiko kanker paru-paru, tidak hanya terjadi pada perokok tapi juga pada wanita yang bukan perokok. Simak kisah penyintas kanker paru yang bukan perokok berikut ini.

Ashley Rivas berusia 26 tahun ketika ia mulai merasa lebih sering lelah dari biasanya. Selama beberapa tahun setelahnya, teknisi X-ray dari Albuquerque, New Mexico ini, menderita batuk terus-menerus dan mengi.

Oleh beberapa dokter, gejala yang dialaminya dikaitkan dengan asthma. Rivas juga memiliki gejala lain, yaitu penurunan berat badan, demam, dan pneumonia. Ketika Rivas akhirnya memutuskan untuk melakukan rontgen dada pada dirinya sendiri, kanker adalah hal terakhir yang ada di pikirannya.

Hasil rontgen mengungkapkan, ada massa di paru-paru kanannya yang ternyata menjadi tumor ganas. Rivas, sekarang 32 tahun, tidak pernah merokok sebatang pun dalam hidupnya. "Saya ingin orang tahu bahwa kanker paru-paru dapat terjadi pada siapa saja," katanya.

"Memang benar bahwa mayoritas orang dengan kanker paru-paru memiliki riwayat penggunaan tembakau," kata juru bicara Lung Association, Andrea McKee, MD, yang juga ketua radiasi onkologi Lahey Medical Center di Burlington, Massachusetts.

"Minoritasnya, yaitu sekitar 15 persen pasien yang didiagnosis dengan kanker paru-paru, tidak memiliki sejarah penggunaan tembakau dan berusia cukup muda."

Faktor risiko lain adalah riwayat keluarga serta paparan polutan udara tertentu, seperti asbes, arsen, radon, bahkan asap diesel, kata Dr McKee.

Kanker paru-paru merupakan kanker yang paling umum di seluruh dunia. Setiap tahun, kanker ini membunuh lebih banyak wanita dibanding kanker payudara, ovarium dan kanker rahim digabung menjadi satu.

Jika didiagnosis lebih awal, penyakit ini sebenarnya sangat dapat disembuhkan, kata Dr. McKee. Untungnya bagi Rivas, pada 2013, dia menjalani operasi pengangkatan tumor dan sekarang dinyatakan bersih dari sel kanker. Bahkan, tahun kemarin, dia ikut lari marathon.

Sayangnya, hanya sekitar 16 persen kasus yang terdiagnosa ketika masih stadium satu. "Biasanya, itu seperti nodul sebesar 7- 8 milimeter berada di tengah paru dan tidak menimbulkan gejala," kata Dr McKee.

Kebanyakan pasien didiagnosis setelah tumor tumbuh cukup besar, saat nodul sudah mengganggu pernapasan.

Itulah yang Marlo Palacio alami sebelum liburan tahun 2013, ketika dia menderita batuk tidak seperti batuk yang pernah dia alami sebelumnya. "Saya merasa seperti kehabisan napas atau tersedak," katanya.

Pada awalnya, pekerja sosial dari Pasadena California ini diasumsikan tertular kuman dari anak balitanya. Namun enam minggu kemudian, batuknya tak kunjung reda. Hingga akhirnya dokter mendiagnosis Palacio yang non-perokok, menderita kanker paru stadium empat.

Pada tahap 4, gejala kanker paru-paru bisa disertai dengan masalah di bagian lain tubuh, seperti nyeri punggung, nyeri tulang, sakit kepala, kehilangan berat badan, dan kebingungan, kata Dr McKee.

Setelah menjalani beberapa perawatan yang berbeda, pada bulan September, Palacio mendapat tumor baru yang terisolasi. Tapi dia bilang, dia merasa baik-baik saja, secara fisik dan emosional.

Dr. McKee berharap, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap gejala dan risiko kanker paru-paru, serta kemajuan teknologi screening, akan membuat banyak kasus kanker paru bisa terdeteksi sejak dini. Karena kapan kanker ini terdeteksi, akan membuat perbedaan besar.

Lain lagi dengan Frida Orozco, ia didoagnosis menderita kanker paru stadium dua ketika berusia akhir 20-an, beberapa bulan setelah menderita batuk kering.

"Saya merasa sakit di sisi bawah tulang rusuk setiap kali saya batuk, juga di sisi kiri dada dekat klavikula," katanya. K

etika Orozco demam, sakit kepala dan pusing, dia pergi memeriksakan diri ke dokter, mendapat pemeriksaan sinar-X dan dokter menemukan ada massa di paru-parunya.

Tapi hari ini, mahasiswa 30 tahun di Borough of Manhattan Community College itu bisa bergembira. Dia telah dinyatakan bersih sejak satu tahun setengah lalu.

"Anda bahkan tidak bisa tahu bahwa saya sudah melalui semua ini. Kecuali jika Anda melihat bekas luka operasi saya," katanya.

Jadi, ketika Anda menderita batuk yang berminggu-minggu tak juga sembuh, untuk amannya, bicaralah dengan dokter Anda. Menurut Dr McKee, seharusnya batuk tidak berlangsung selama dua atau tiga minggu.

Jika Anda menduga ada sesuatu yang tidak beres dengan kesehatan Anda, bertindaklah, kata Rivas. "Anda yang tahu tubuh Anda lebih baik dari siapa pun," katanya.

"Bertindaklah karena intuisi Anda bahwa ada yang tak beres di dalam sana, mungkin saja benar. Dokter pulmonologis saya mengatakan, jika waktu itu saya terlambat didagnosa, mungkin sekarang saya sudah tak ada lagi di dunia. Saya tahu ada sesuatu yang salah dan saya bertindak. "

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com