Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memahami Empati dan Mengapa Manusia Membutuhkannya

Kompas.com - 09/01/2017, 14:00 WIB

KOMPAS.com - Miskin perasaan empati bisa membuat interaksi kita dengan orang lain berantakan. Ini karena setiap manusia memiliki sifat yang unik.

Empati adalah kemampuan untuk berbagi dan mamahami emosi orang lain. Dalam ilmu psikologi dikenal tiga jenis empati.

Pertama adalah empati afektif, yakni kemampuan untuk berbagi emosi dengan orang lain. Orang yang memiliki empati jenis ini biasanya adalah mereka yang menunjukkan reaksi mendalam saat menonton film horor.

Mereka akan merasa takut atau merasakan derita orang lain saat melihat orang lain mengalaminya.

Sebaliknya dengan jenis empati yang kedua, yaitu empati kognitif. Ini merupakan kemampuan untuk memahami emosi orang lain. Contohnya adalah psikolog yang memahami emosi kliennya secara rasional, tapi tak harus berbagi emosi secara mendalam.

Terakhir adalah empati regulasi emosional. Ini merujuk pada kemampuan untuk mengatur sebuah emosi. Misalnya, ahli bedah yang bisa mengendalikan emosinya saat mengoperasi pasien.

Empati tidak sama dengan meniru atau imitasi. Untuk memiliki rasa empati kita harus memiliki kesadaran diri dan juga jarak antara diri sendiri dan orang lain.

Empati juga tidak hanya dimiliki manusia, namun para ilmuwan menemukannya pada primata bukan manusia, bahkan pada tikus.

Orang sering mengatakan psikopat tidak memiliki empati, padahal tidak begitu faktanya. Seorang psikopat memiliki kemampuan empati kognitif, karena mereka perlu mengetahui perasaan korbannya saat disiksa.

Yang tidak dimiliki psikopat adalah simpati. Mereka tahu orang lain menderita, tapi tak peduli.

Penelitian juga menunjukkan bahwa seorang psikopat sangat mahir dalam mengatur emosinya.

Manusia butuh

Empati sangat penting karena akan membantu kita memahami perasaan orang lain sehingga kita bisa memberi respon yang sesuai.

Orang yang gemar menolong orang lain sering dianggap memiliki rasa empati yang besar. Padahal, tidak selalu demikian.

Empati juga dapat menghambat tindakan sosial atau bahkan memicu perilaku tercela. Misalnya, orang yang melihat kecelakaan mobil dan sangat terpengaruh oleh rasa sakit yang dialami korban bisa membuatnya tidak segera menolong.

Rasa empati yang besar pada anggota keluarga atau kelompok kita juga dapat memicu rasa benci dan sikap menyerang orang lain yang kita anggap sebagai ancaman atau musuh.

Orang yang mahir membaca emosi orang lain, seperti penipu atau peramal, juga kerap menggunakan kemampuannya itu untuk mengambil keuntungan dari orang lain.

Penelitian menunjukkan, bagian otak yang mengatur empati sangat adaptif pada berbagai jenis situasi. Terkadang kita butuh rasa empati, tapi di lain waktu mungkin kita perlu mematikan rasa empati untuk melindungi diri dan orang lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau