KOMPAS.com – Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) sangat erat kaitannya dengan kebiasaan merokok. Penyakit ini dapat mengalami perburukan yang mengancam nyawa. Namun gejala penyakit PPOK sering diremehkan.
Seperti yang dialami oleh Ariyanto, pengidap PPOK yang juga mantan perokok aktif ini menceritakan mengalami gejala batuk berdahak selama 6 tahun terakhir. Namun ia menganggapnya hal itu sebagai batuk biasa akibat kebiasaan merokok.
“Sebelum didagnosis PPOK saya sering batuk berdahak kerkepanjangan, sesak napas, dan merasa lelah saat aktivitas di luar,” katanya saat ditemui di acara Peresmian Digital Platform EducAIR dan Kampanye Peduli Paru OK yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dan GSK di Jakarta Selatan (29/5/23).
Meski awalnya abai dan menggap hal tersebut merupakan batuk biasa, Ariyanto memutuskan untuk memeriksakan diri ketika mengalami anfal atau serangan sesak napas berat saat bekerja.
“Sampai pada Februari yang lalu saya anfal dan dilarikan ke IGD dan teridentifikasi PPOK grade D," tutur pria yang mengaku sudah merokok sejak duduk di kelas 2 SMP ini.
Baca juga: 8 Gejala PPOK yang Perlu Diwaspadai
PPOK atau penyakit paru obstruktif kronis merupakan peradangan paru jangka panjang yang membuat saluran pernapasan dipenuhi lendir dan dahak. Penyakit ini rentan terjadi pada perokok aktif seperti Ariyanto.
“Saya perokok berat, bisa dua sampai tiga bungkus perhari. Ketika dideteksi PPOK Februari kemarin, saya baru stop,” ujarnya.
Dianggap batuk biasa
Dokter Spesialis Paru dan Pernapasan Konsultan Asma Triya Damayanti, mengungkapkan bahwa banyak penderita PPOK sering mengalami hal yang sama dengan Ariyanto, menanggap keliru gejala yang muncul.
“Pasien mungkin keliru menganggap gejala PPOK sebagai proses penuaan normal, kondisi kebugaran fisik pasien, atau konsekuensi dari merokok," jelasnya.
Padahal, jika tidak segera diatasi, pasien PPOK dapat mengalami fase eksaserbasi atau keadaan akut yang dapat memperburuk kondisi paru.
“Pasien eksaserbasi jika tidak diatasi, parunya akan memburuk dan tidak akan bisa diatasi lagi,” katanya.
Baca juga: 10 Penyakit Kronis sebagai Efek Merokok yang Harus Diwaspadai
Gejala eksaserbasi yang perlu diperhatikan, antara lain ketidakmampuan untuk mengatur napas, detak jantung menjadi cepat, kuku ataupun bibir yang memucat sebagai tanda kekurangan oksigen, peningkatan produksi lendir, serta demam.
Dokter Triya juga mengungkapkan bahwa PPOK tak bisa dianggap sepele. Apalagi beberapa tahun belakangan terjadi peningkatan angka kematian akibat PPOK seiring dengan tingginya jumlah perokok aktif di Indonesia.
“Telah terjadi peningkatan penyakit PPOK dari ranking 6 menjadi ranking 3 sebagai prioritas penyakit penyebab kematian tertinggi. Karena kebiasaan merokok meningkat, tentu kasus PPOK juga meningkat,” jelasnya.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, menyatakan bahwa pemerintah saat ini memprioritaskan screening PPOK.
“Penyakit paru meningkatkan mortalitas dan kesakitannya. Makanya kita masukan ke prioritas screening,” tuturnya.
Baca juga: Kenali, 3 Sumber Polusi Udara di Dalam Ruangan
Tak hanya itu, Syahril juga mengungkap bahwa pemerintah juga sudah mengatur beberapa kebijakan terkait rokok untuk menekan angka kejadian PPOK.
Selain rokok, Syahril juga mengajak masyarakat waspada terhadap faktor risiko yang dapat menyebabkan PPOK seperti polusi udara yang buruk.
Masyarakat juga diajak untuk melakukan deteksi dini jika memiliki faktor risiko PPOK, menjauhi rokok, dan menggunakan masker di lingkungan yang berpolusi.
“Memang asap rokok itu penyebab yang utama. Tapi kualitas udara, asap kendaraan juga bisa merusak paru dan menimbulkan PPOK,” jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya