Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr Kurniasih Mufidayati
Anggota DPR-RI

Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota DPR RI dan dosen.

"Mandatory Spending" dan Masa Depan Kualitas Kesehatan Masyarakat

Kompas.com - 12/07/2023, 12:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KESEHATAN merupakan salah satu hak dasar penduduk yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara dan dijamin konstitusi. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Ayat itu menegaskan, kesehatan setiap penduduk menjadi tanggung jawab negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak. Karena merupakan kebutuhan dasar, sektor kesehatan menjadi sektor yang diwajibkan untuk dapat alokasi anggaran dalam jumlah yang mencukupi dari negara atau mandatory spending, selain kebutuhan dasar lain seperti pendidikan.

Mandatory spending merupakan belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.

Baca juga: DPR Sahkan RUU Kesehatan Menjadi UU, Sempat Ditolak Dua Fraksi

Sebagai wujud dari mandatory spending, serta implementasi dari Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, maka UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan -dalam Pasal 171 ayat (1) dan (2)- mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan minimal lima persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk kesehatan, di luar gaji.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memasang patokan, alokasi anggaran kesehatan setiap negara minimal 15 persen dari total APBN atau setara dengan lima persen dari PDB. Beberapa negara telah mengikuti ketetapan WHO ini dengan mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan sekaligus memenuhi tanggungjawabnya dalam bidang kesehatan kepada penduduknya.

Data WHO pada 2010 menunjukkan, ada 22 dari 36 negara berkategori low income yang telah mengalokasikan 11 persen anggaran negaranya untuk kesehatan. Bahkan tiga negara berpendapatan rendah di Afrika seperti Rwanda, Tanzania, dan Liberia berani mengalokasikan dana untuk sektor kesehatan hingga 15 persen dari APBN.

Cile yang merupakan negara middle income country seperti Indoinesia, mengalokasikan anggaran untuk kesehatan sampai 16 persen dari APBN.

Mandatory Spending dan Omniibus Law Kesehatan

Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam pembahasan omnibus law RUU Kesehatan adalah dihapuskannya ketentuan Pasal Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan alokasi anggaran kesehatan minimal lima persen dari APBN. Penghapusan ini merupakan langkah mundur dan bentuk dari upaya mengurangi tanggung jawab pemerintah di bidang kesehatan.

Padahal dengan jumlah penduduk yang besar, wilayah yang luas dan tersebar dalam kepulauan, layanan kesehatan bagi penduduk memiliki tantangan tersendiri. Dibutuhkan anggaran yang besar untuk memberikan pelayanan kesehatan bahkan pada level standar minimum bagi masyarakat yang tersebar luas di berbagai pulau.

Di sisi lain, Indonesia yang merupakan negara tropis dan curah hujan tinggi, rawan dengan berbagai permasalahan kesehatan, termasuk berbagai penyakit menular. Apalagi sebagian penduduk masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk air bersih maupun pemenuhan kecukupan gizi.

Akibatnya, persoalan kesehatan menjadi semakin besar lagi akibat faktor alam, ekonomi, maupun kebiasaan hidup penduduk. Kesadaran untuk gerakan hidup sehat masih rendah termasuk pada kalangan menengah.

Problem kesehatan yang banyak ini sesungguhnya disadari pemerintah Indonesia. Karena itu pemerintah menetapkan beberapa prioritas dalam pembangunan kesehatan.

Tahun 2023, misalnya, pemerintah menetapkan lima prioritas program yaitu program yang sifatnya promotif-preventif, retrukturisasi rumah sakit di seluruh Indonesia terutama untuk penanganan penyakit dengan resiko kematian tinggi, membangun sistem ketahanan kesehatan dengan membangun industri kesehatan, pengembangan kecukupan sumber daya manusia kesehatan, dan memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan untuk menjamin pembiayaan kesehatan yang tersedia secara cukup dan berkelanjutan.

Baca juga: Puan Minta Publik yang Tidak Puas dengan RUU Kesehatan Berikan Masukan ke Pemerintah

Usai pandemi Covid-19, pemerintah menetapkan transformasi kesehatan yang terdiri dari enam pilar dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan penduduk. Keenam pilar transformasi kesehatan itu terdiri dari transformasi layanan primer, yang menekankan upaya promotif dan preventif dan peningkatkan kapasitas dan kapabilitas SDM kesehatan pada layanan primer.

Kedua, transformasi layanan rujukan yang difokuskan pada peningkatan akses dan pemerataan layanan kesehatan di semua wilayah Indonesia. Ketiga, transformasi sistem ketahanan kesehatan yang meliputi upaya peningkatan ketahanan penanggulangan medis dan penguatan resiliensi di masa krisis kesehatan.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau