KESEHATAN merupakan salah satu hak dasar penduduk yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara dan dijamin konstitusi. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Ayat itu menegaskan, kesehatan setiap penduduk menjadi tanggung jawab negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak. Karena merupakan kebutuhan dasar, sektor kesehatan menjadi sektor yang diwajibkan untuk dapat alokasi anggaran dalam jumlah yang mencukupi dari negara atau mandatory spending, selain kebutuhan dasar lain seperti pendidikan.
Mandatory spending merupakan belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.
Baca juga: DPR Sahkan RUU Kesehatan Menjadi UU, Sempat Ditolak Dua Fraksi
Sebagai wujud dari mandatory spending, serta implementasi dari Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, maka UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan -dalam Pasal 171 ayat (1) dan (2)- mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan minimal lima persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk kesehatan, di luar gaji.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memasang patokan, alokasi anggaran kesehatan setiap negara minimal 15 persen dari total APBN atau setara dengan lima persen dari PDB. Beberapa negara telah mengikuti ketetapan WHO ini dengan mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan sekaligus memenuhi tanggungjawabnya dalam bidang kesehatan kepada penduduknya.
Data WHO pada 2010 menunjukkan, ada 22 dari 36 negara berkategori low income yang telah mengalokasikan 11 persen anggaran negaranya untuk kesehatan. Bahkan tiga negara berpendapatan rendah di Afrika seperti Rwanda, Tanzania, dan Liberia berani mengalokasikan dana untuk sektor kesehatan hingga 15 persen dari APBN.
Cile yang merupakan negara middle income country seperti Indoinesia, mengalokasikan anggaran untuk kesehatan sampai 16 persen dari APBN.
Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam pembahasan omnibus law RUU Kesehatan adalah dihapuskannya ketentuan Pasal Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan alokasi anggaran kesehatan minimal lima persen dari APBN. Penghapusan ini merupakan langkah mundur dan bentuk dari upaya mengurangi tanggung jawab pemerintah di bidang kesehatan.
Padahal dengan jumlah penduduk yang besar, wilayah yang luas dan tersebar dalam kepulauan, layanan kesehatan bagi penduduk memiliki tantangan tersendiri. Dibutuhkan anggaran yang besar untuk memberikan pelayanan kesehatan bahkan pada level standar minimum bagi masyarakat yang tersebar luas di berbagai pulau.
Di sisi lain, Indonesia yang merupakan negara tropis dan curah hujan tinggi, rawan dengan berbagai permasalahan kesehatan, termasuk berbagai penyakit menular. Apalagi sebagian penduduk masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk air bersih maupun pemenuhan kecukupan gizi.
Akibatnya, persoalan kesehatan menjadi semakin besar lagi akibat faktor alam, ekonomi, maupun kebiasaan hidup penduduk. Kesadaran untuk gerakan hidup sehat masih rendah termasuk pada kalangan menengah.
Problem kesehatan yang banyak ini sesungguhnya disadari pemerintah Indonesia. Karena itu pemerintah menetapkan beberapa prioritas dalam pembangunan kesehatan.
Tahun 2023, misalnya, pemerintah menetapkan lima prioritas program yaitu program yang sifatnya promotif-preventif, retrukturisasi rumah sakit di seluruh Indonesia terutama untuk penanganan penyakit dengan resiko kematian tinggi, membangun sistem ketahanan kesehatan dengan membangun industri kesehatan, pengembangan kecukupan sumber daya manusia kesehatan, dan memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan untuk menjamin pembiayaan kesehatan yang tersedia secara cukup dan berkelanjutan.
Baca juga: Puan Minta Publik yang Tidak Puas dengan RUU Kesehatan Berikan Masukan ke Pemerintah
Usai pandemi Covid-19, pemerintah menetapkan transformasi kesehatan yang terdiri dari enam pilar dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan penduduk. Keenam pilar transformasi kesehatan itu terdiri dari transformasi layanan primer, yang menekankan upaya promotif dan preventif dan peningkatkan kapasitas dan kapabilitas SDM kesehatan pada layanan primer.
Kedua, transformasi layanan rujukan yang difokuskan pada peningkatan akses dan pemerataan layanan kesehatan di semua wilayah Indonesia. Ketiga, transformasi sistem ketahanan kesehatan yang meliputi upaya peningkatan ketahanan penanggulangan medis dan penguatan resiliensi di masa krisis kesehatan.
Keempat, transformasi sistem pembiayaan kesehatan yang dilakukan dengan mengembangkan regulasi pembiayaan kesehatan dengan tujuan membangun pemerataan, kemudahan aksesibilitas bagi masyarakat, dan keberlanjutan alokasi pembiayaan. Kelima, transformasi sumber daya manusia (SDM) kesehatan dan peningkatan kualitas SDM kesehatan.
Keenam, transformasi teknologi kesehatan dengan mendorong pengembangan teknologi dan digitalisasi di sektor kesehatan.
Dari filosofinya, kewajiban alokasi APBN dan APBD untuk pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna. Penyediaan anggaran ini juga untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Hal itu merupakan amanat Pasal 170 ayat (1) UU No 36 tahun 2009 yang nenjadi dasar adanya mandatory spending. Enam pilar tranformasi kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah memerlukan upaya dan sumber daya yang besar untuk dapat mewujudkannya.
Apalagi jumlah penduduk yang harus dilayani dan wilayah yang harus dipenuhi kebutuhannya sangat besar dan luas. Tujuan yang ingin dicapai melalui transformasi kesehatan juga sangat besar, di antaranya membangun pemerataan dan kemudahan aksesibilitas bagi masyarakat.
Tidak ada adanya mandatory budget akan berdampak terhambatnya upaya transformasi kesehatan. Enam pilar transformasi kesehatan itu sudah pasti membutuhkan dukungan pembiayaan yang besar.
Betul, dukungan pembiayaan untuk melaksanakan transformasi kesehatan tidak sepenuhnya mengandalkan pemerintah. Namun tetap saja pada tahap awal, peran pemerintah haruslah paling besar dalam mendukung pelaksanaan transformasi.
Jangan sampai pembiayaan untuk enam pilar transformasi kesehatan menggunakan dana Jaminan Kesehatanan Nasional (JKN), yang merupakan dana gotong royong dari seluruh peserta JKN. Apalagi revisi UU BPJS juga memposisikan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan.
Di sisi lain, upaya membangun sistem kesehatan nasional selama ini masih banyak menemui hambatan, termasuk dari peraturan yang ada dan konsistensi pemerintah dalam mewujudkannya. Upaya percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan yang didorong dengan Inpres Nomor 6 Tahun 2016, dalam implementasinya masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Ketergantungan terhadap sediaan farmasi dan alat kesehatan dari impor masih sangat tinggi. Pandemi Covid-19 memberi pelajaran tentang tingginya ketergantungan kita pada sediaan farmasi yang berasal dari impor.
Demikian juga dengan upaya memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat. Berkali-kali upaya pemerintah menaikan iuran BPJS Kesehatan menunjukkan kesulitan yang dialami pemerintah dalam pembiayaan kesehatan dalam mewujudkan jaminan kesehatan nasional.
Artinya, ketiadaan kewajiban bagi pemerintah untuk mengalokasikan sejumlah tertentu anggaran untuk bidang kesehatan, bisa mengancam keberlangsungan JKN, kususnya bagi masyarakat penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan. Hal ini justru berakibat buruk pada kualitas kesehatan masyarakat karena tidak terpenuhinya jaminan kesehatan untuk mereka.
Tidak adanya mandatory spending untuk sektor kesehatan juga menjadikan sektor kesehatan memiliki ketergantungan tinggi terhadap kondisi fiskal negara. Secara langsung menjadikan bidang kesehatan akan dikendalikan oleh Kementerian Keuangan.
Beberapa program besar yang menjadi indikator kesehatan nasional seperti penurunan stunting, kesehatan ibu dan anak, kematian bayi dan ibu melahirkan berpotensi tidak berjalan maksimal dan target tidak tercapai.
Mandatory spending yang dihapuskan dalam omnibus law UU Kesehatan juga bisa berdampak kepada daerah yang sudah menetapkan alokasi anggaran untuk kesehatan dalam persentase tertentu dari APBD yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Beberapa daerah yang semula sudah menindaklanjuti Pasal 171 UU Nomor 36 Tahun 2009 dengan menetapkan alokasi anggaran untuk kesehatan dari APBD, sangat mungkin akan melakukan perubahan perda tentang kesehatan daerah dan menghapuskan ketentuan alokasi anggaran kesehatan tersebut.
Apalagi beberapa daerah sejak dikeluarkannya UU Nomor 36 Tahun 2009 juga banyak yang belum memenuhi ketentuan minimal 10 persen APBD untuk bidang kesehatan maupun pengaturan dalam Perda Sistem Kesehatan Daerah.
Hilangnya mandatory spending kesehatan akan membuat masa depan kualitas kesehatan nasional menghadapi situasi berat. Bahkan ketika ditetapkan mandatory spending pada UU No. 2 Tahun 2009 pun, kita kesulitan memenuhi standar kesehatan, kesehatan ibu dan anak, stunting dan berbagai problem kesehatan lainnya.
Apalagi di tingkat daerah masih banyak fasilitas kesehatan yang minim serta kekurangan tenaga kesehatan. Sementara banyak pemerintah daerah yang belum maksimal dalam mendukung pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.