Setidaknya ini terlihat pada masih minimnya vaksinasi dengue dan mandegnya penggunaan nyamuk dengan wolbachia. Vaksin DBD sebetulnya sudah ada sejak tahun 2016 dan vaksin yang tersedia dapat diberikan pada orang di usia 6-45 tahun.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun merekomendasikan pemberian vaksin dengue pada anak usia 6 hingga 18 tahun.
Sementara itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), juga merekomendasikan pemberian vaksin dengue kepada dewasa, yaitu 19-45 tahun.
Vaksin jenis Travalent Dengue Vaccine (TDV), telah disetujui edarnya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejak 2022, setelah melewati sederet uji laboratorium.
Menurut PAPDI efikasi vaksin TDV yang beredar di Indonesia adalah sebesar 80 persen. Itu artinya, vaksin TDV dapat memberi manfaat mencegah risiko demam berdarah dengue sebesar 80 persen.
Syarat penggunaan vaksin ini juga tidak sulit. Sepanjang barada pada rentang usia 6-45 tahun, kondisi badan yang sehat dan daya tahan tubuh baik, maka dapat diberiikan vaksin TDV ini.
Namun tidak seperti vaksin covid-19 atau vaksin lainnya, vaksin Dengue sepertinya belum banyak pemanfaatannya. Bahkan keberadaannya masih banyak belum diketahui masyarakat.
Pendekatan dalam vaksinasi dengue ini masih bersifat pasif. Artinya masyarakat yang membutuhkannya harus mengaksesnya secara mandiri di rumah sakit tertentu dan berbayar cukup mahal.
Padahal dengan kerentanan yang ada, IDAI maupun PAPDDI sudah merekomendasikan untuk pemberan vaksin ini.
Mengingat kondisi wabah DBD yang terus berulang setiap tahun, bahkan tahun ini meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya, maka intensifikasi vaksin dengue ini perlu dipertimbangkan untuk pengendalian wabah DBD agar situasi tidak semakin memburuk.
Pemberian vaksin Dengue kepada anak-anak harus menjadi perhatian semua pihak, baik pengambil kebijakan kalangan medis, pihak swasta dan tokoh masyarakat.
Sehingga semua semakin menyadari keberadaan dan perlunya vaksin sebagai bagian dari upaya pengendalian wabah DBD yang berlangsung setiap tahun dan menimbulkan beban pembiayaan yang besar.
Sementara intervensi nyamuk dengan teknologi wolbachia juga seperti jalan di tempat setelah dilakukannya uji coba.
Teknologi ini bekerja dengan memanfaatkan bakteri alami wolbachia yang tidak berbahaya bagi manusia maupun hewan, yang dimasukkan ke dalam nyamuk dan melumpuhkan virus dengue di dalamnya.
Hasil uji coba wolbachia pada beberapa daerah menunjukkan penurunan kasus sampai 70 persen dibanding daerah yang tidak diintervesi dengan Wolbachia.
Fase pelaksanaan juga telah dilakukan di lima kota besar, yaitu Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang, dan Bontang.
Namun justru setelah itu hampir tidak terdengar lagi upaya intervensi dengan nyamuk ber-wolnachia untuk penangulangan DBD.
Kementerian Kesehatan juga sudah menjelaskan bahwa tidak ada kaitan antara meledaknya kasus DBD pada bulan Maret-April lalu dengan intervensi nyamuk ber-wolbachia.
Memang kasus DBD saat ini sudah mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya. Namun bukan berarti kita melupakan kembali upaya inovasi yang sudah dilakukan sebagai intervensi dalam penanggulangan dengue.
Strategi nasional yang sudah dibuat tentu untuk dilaksanakan dengan berbagai upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah.
Jika ada dalam implementasi strategi tersebut yang membutuhkan biaya, maka sudah seharusnya pemerintah mengalokasikan anggaran untuk menjalankan strategi tersebut.
Jika penggunaan vaksin TDV untuk dengue memang memerlukan biaya, maka perlu diupayakan anggaran untuk bisa melakukan intervensi dengan penggunaan vaksin, minimal pada kelompok rawan dan pada daerah rawan kasus tinggi.
Jangan sampai meledaknya kasus kembali terulang di tahun depan dan banyak nyawa melayang dan beban pembiayaan kesehatan semakin berat akibat DBD.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.