Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noerolandra Dwi S
Surveior FKTP Kemenkes

Menyelesaikan pascasarjana FKM Unair program studi magister manajemen pelayanan kesehatan. Pernah menjadi ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban bidang pengendalian dan pencegahan penyakit. Sekarang menjadi dosen di Stikes NU di Tuban, dan menjalani peran sebagai surveior FKTP Kemenkes

Kemiskinan dan TBC

Kompas.com - 20/06/2024, 14:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEMISKINAN adalah salah satu penentu masalah kesehatan. Kemiskinan meningkatkan kesempatan penyakit berkembang.

Kondisi yang terjadi karena sanitasi air bersih, malnutrisi, kampung kumuh, kurangnya akses informasi pengetahuan, dan akses ke pelayanan kesehatan yang rendah.

Susahnya karena penyakit tersebut telah menghambat pertumbuhan ekonomi bagi orang dan keluarga yang terdampak, dan memberi akses pengobatan rendah akibat peningkatan kemiskinan yang terjadi.

Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan menyebabkan penyakit kemiskinan menjadi stigma yang panjang.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut kemiskinan berarti ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan dan nonmakanan.

Penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas atau disebut sebagai garis kemiskinan.

Garis kemiskinan bisa berupa nilai rupiah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan hidup minimum makanan maupun kebutuhan hidup minimum nonmakanan. Kemiskinan demikian dinamis.

Rumah tangga yang tidak miskin dapat jatuh menjadi miskin periode berikutnya karena penyakit, krisis ekonomi atau gagal panen.

Bank Dunia (2020) menyebut 30 persen penduduk Indonesia rentan kemiskinan karena kejutan kesehatan, perekonomian, dan sosial yang terjadi.

Hal yang menjadi tantangan cukup berat bagi Indonesia adalah sulitnya dinamika kemiskinan bergerak kearah yang positif.

Pendekatan kesenjangan kemiskinan Equality Distributes Equivalent (EDE) menunjukkan kalau 92 persen kemiskinan di Indonesia bersifat kronis dari total komponen kemiskinan.

Persentase kemiskinan yang bertahan karena disumbang oleh biaya ketimpangan yang signifikan.

Meskipun tingkat kemiskinan ada penurunan setiap tahun, tetapi karena potensi kerentanan kemiskinan masyarakat, maka persoalan ekonomi, sosial dan kesehatan menjadi fenomena yang terus menghantui.

Persentase penduduk miskin Indonesia sebesar 9,36 persen, menurun 0,21 persen dibanding tahun sebelumnya. Jumlah penduduk miskin sebesar 25,90 juta (2023). Sedang garis kemiskinan tercatat sebesar 550.458/kapita/bulan.

Mengingat adanya fenomena kemiskinan kronis dan kerentanan kemiskinan yang terjadi serta dinamika perekonomian global, maka fenomena kemiskinan akan selalu menjadi ancaman di depan mata.

Upaya pemerintah dan negara dalam memberantas kemiskinan perlu terus didukung semua kalangan masyarakat. Kemiskinan tidak bisa ditanggulangi secara sendirian, demikian pula dampak penyakit yang ditimbulkan perlu sinergitas banyak pihak.

Kemiskinan menjadi faktor risiko yang kuat menyebabkan penyebaran penyakit TBC di masyarakat.

Kerentanan kronis dan kemiskinan membuat penyakit TBC mudah menyebar di masyarakat dan menimbulkan dampak buruk. Beberapa ahli juga menyebut pengaruh angka penyakit TBC dengan kemiskinan.

Berangkat dari asumsi World Bank (2012) bahwa penyebab kemiskinan, yaitu tidak tersedianya aset dasar kehidupan berupa kesehatan dan keterampilan/pengetahuan.

Buruknya kesehatan berdampak pada tingginya mortalitas dan morbiditas yang memengaruhi kuantitas dan kualitas tenaga kerja dan waktu kerja.

Demikianlah kemiskinan dan angka penyakit saling berpengaruh yang boleh jadi tidak diketahui kondisi yang lebih dulu terjadi.

Dalam hal ini kasus penderita TBC di Indonesia terus saja dilaporkan dan menimbulkan kematian yang signifikan. Kemenkes menyatakan tahun 2023 ditemukan 821.200 kasus dari estimasi sekitar 1.060.000 kasus.

Dengan kematian lebih 130.000 tiap tahun telah menempatkan Indonesia peringkat kedua dunia setelah India. Indonesia merupakan negara high burden TBC dan menjadi satu di antara delapan negara menyumbang 68 persen kasus TBC di dunia.

Tantangan yang terus terjadi di Tanah Air, yaitu soal penemuan penderita TBC secara dini, waktu mulai pengobatan, akses pengawasan penderita minum obat, kemungkinan putus berobat, dan mutu pelayanan kesehatan.

Sedang menurut BPJS Kesehatan, hal yang perlu mendapat perhatian meliputi pengawasan yang efektif, percepatan identifikasi kasus, memastikan staf dan fasilitas laboratorium yang memadai, keterlibatan praktisi swasta, dan koordinasi yang efektif di antara penyedia layanan kesehatan (April, 2023).

Pemerintah dan pemangku kepentingan penyakit TBC harus bergerak cepat apabila target eliminasi TBC tahun 2030 ingin tercapai.

Hal ini tentu bukan menjadi tugas bidang kesehatan saja, sektor lain dan tokoh masyarakat harus menjalin kerja sama. Jika ditangani sektor kesehatan sendirian, maka penyakit TBC tidak dapat dituntaskan sampai kapanpun.

Penelitian menunjukkan determinan sosial penyakit TBC yang tidak bisa diabaikan dalam pemberantasan penyakit TBC di Indonesia.

Determinan sosial penyakit TBC (Alfi Nurjannah dkk, 2022) terdiri atas Education Access and Quality (Akses dan Kualitas Pendidikan), Health Care and Quality (Pelayanan Kesehatan dan Kualitasnya), Neighborhood and Built Environment (Lingkungan), Social and Community Context (Kontek Sosial dan Masyarakat), dan Economic Stability (Stabilitas Ekonomi).

Hasilnya determinan yang diteliti berpengaruh terhadap pelayanan penyakit TBC. Semakin baik dan memenuhi syarat kondisi determinan terjadi dan tersedia maka upaya mencari pelayanan pengobatan TBC, ketersediaan fasilitas pelayanan TBC, dan keberhasilan pengobatan akan meningkat.

Sedangkan penelitian lain tentang determinan sosial ekonomi penderita TBC menunjukkan bahwa 72,3 persen penderita TBC berpendidikan rendah, 99,2 persen penderita dengan pendapatan tidak mampu, 78,2 persen penderita berpengetahuan cukup, 89,1 persen penderita dengan status gizi buruk, 71,4 persen penderita tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan (Rizki A, Sundari, 2019). Sebuah kenyataan kondisi tipologi kemiskinan yang terjadi di Indonesia.

Kemiskinan dan determinan penyakit TBC di muka bumi ini sekaligus menunjukkan kompleksitas pelayanan pengobatan TBC yang tidak mudah dan selalu berhadapan dengan tantangan yang tidak pernah selesai.

Tantangan tidak dihindari, namun terus diupayakan dan diperjuangkan oleh Pemerintah bersama dengan partnership global.

Kini seluruh fasilitas pelayanan kesehatan baik puskesmas, rumah sakit, klinik milik pemerintah maupun swasta menempatkan keberhasilan pengobatan TBC sebagai indikator mutu pelayanan yang harus tercapai dengan target 90 persen.

Komitmen yang cukup berani karena penyakit TBC mempunyai banyak dimensi, baik kesehatan, ekonomi, sosial, maupun budaya yang memengaruhi keberhasilan.

Upaya peningkatan mutu keberhasilan pengobatan TBC tersebut meliputi pemeriksaan dahak yang tepat dan benar yang terdokumentasi, pelaksanaan KIE TBC kepada pasien dan keluarga termasuk kesepakatan menjalani pengobatan, pemberian regimen dan dosis obat yang tepat, pemantauan kemajuan pengobatan termasuk penanganan efek samping obat, dan pencatatan rekam medis secara lengkap dan benar di setiap tahapan pengobatan TBC.

Semua upaya peningkatan mutu TBC perlu terdokumentasi dan teregister dalam Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) berbasis online yang telah ditetapkan sehingga dapat dilakukan monitoring dan evaluasi upaya peningkatan mutu keberhasilan TBC.

Menetapkan keberhasil pengobatan TBC sebagai salah satu indikator mutu pelayanan fasyankes di Indonesia merupakan jalan tepat yang mesti ditempuh karena kesadaran kompleksitas TBC dan pengobatannya di masyarakat.

Negara kita belum berhasil menurunkan angka mortalitas dan morbiditas TBC secara signifikan.

Kasus yang terdeteksi dan memulai pengobatan juga belum mencapai estimasi kasus yang terjadi di masyarakat. Faktor kesehatan dan nonkesehatan satu sama lain sangat menentukan.

Secara sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat terus berkembang, berkompetisi dan saling memengaruhi.

Maka jika angka mortalitas dan morbiditas TBC merupakan angka komposit kemiskinan berikut determinan TBC, kolaborasi dan sinergitas pemangku pemberantasan TBC menjadi keharusan yang signifikan.

Kita tetap menatap optimistis terhadap eliminasi TBC dan terus berjuang bersama. Keberhasilan bidang kesehatan, pendidikan, perekonomian, peran swasta, organisasi sosial masyarakat dan peran global dengan sendirinya akan berbicara menuju eliminasi. Komitmen dan kesadaran bersama itu yang diperlukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau