Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noerolandra Dwi S
Surveior FKTP Kemenkes

Menyelesaikan pascasarjana FKM Unair program studi magister manajemen pelayanan kesehatan. Pernah menjadi ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban bidang pengendalian dan pencegahan penyakit. Sekarang menjadi dosen di Stikes NU di Tuban, dan menjalani peran sebagai surveior FKTP Kemenkes

Sengkarut Mahalnya Harga Obat

Kompas.com - 23/07/2024, 06:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARGA obat di Indonesia mahal dan masyarakat tetap membelinya. Tidak seperti kebutuhan lain, obat harus dibeli ketika sakit. Berdasarkan resep dokter, pasien menuju apotek dan membayar harga obat tanpa bisa menawar.

Sengkarut obat mahal tidak sekarang saja. Bahkan sudah beberapa dekade lalu, harga obat di Indonesia dirasakan mahal. Dalam inflasi pembiayaan kesehatan, harga obat menjadi komponen yang membuat inflasi biaya kesehatan tinggi.

Pada 2023, peningkatan biaya kesehatan Indonesia sebesar 13,6 persen yang disebabkan kenaikan barang medis (obat, alkes), klaim asuransi dan penundaan perawatan yang dilakukan di tengah masyarakat karena pertimbangan medis maupun nonmedis.

Obat yang mahal akan memengaruhi daya beli masyarakat untuk berobat dan mendapatkan pelayanan kesehatan.

Pembiayaan yang dikeluarkan negara juga kian membengkak jika inflasi harga obat terus naik. Pada akhirnya pembatasan-pembatasan pelayanan ditetapkan untuk menjaga kelangsungan pembiayaan kesehatan.

Dispensing obat oleh praktisi medis sebetulnya telah memotong rantai distribusi obat dalam masyarakat. Di beberapa tempat, dispensing dilakukan dokter sejak lama. Bahkan paramedis di pelosok juga mempraktikkannya karena kebutuhan masyarakat.

Dalam dispensing obat meliputi menyiapkan obat, perhitungan jumlah obat, peracikan obat, pemberian etiket obat, pemeriksaan ulang obat (nama, kedaluwarsa, fisik obat), dan pemberian informasi obat kepada pasien (manfaat, cara penggunaan, penyimpanan obat).

Dispensing obat oleh dokter ternyata tidak menurunkan harga obat secara umum. Rantai distribusi boleh terpotong, tapi harga obat tetap mahal.

Belum lagi scope work dispensing sebetulnya menjadi tugas apoteker sesuai kewenangan yang dimiliki.

Apoteker yang bertanggung jawab menyiapkan obat sesuai resep dokter maupun pelayanan nonresep dokter. Seperti pasien yang membutuhkan obat bebas, obat bebas terbatas, termasuk dalam pelayanan swamedikasi. Masih banyak masyarakat mendapatkan obat tanpa pelayanan apoteker.

Obat mahal biasanya tergolong obat paten yang dianggap banyak orang sebagai obat paling mutakhir. Obat ini hasil dari proses penelitian panjang, dan merupakan produk pertama yang dihasilkan perusahaan farmasi melalui uji praklinis dan klinis yang kemudian dipasarkan secara komersial.

Penelitian menyatakan harga obat yang mahal tidak lebih berkualitas dengan obat murah. Sepertiga dari sampel obat yang diteliti memiliki kulitas yang sama dengan perbedaan harga lebih 10 kali lipat (Oktober, 2023).

Dinyatakan oleh Menkes bahwa obat di Indonesia mahal dibanding kawasan lain di Asia Tenggara. Harga obat generik dengan harga obat merek dagang bisa berbanding 1,37 – 22,34 kali. Kemahalan akan dirasakan masyarakat dan menghambat kesehatan.

Obat merek dagang telah mengepung pasar Indonesia. Proporsi obat merek dagang (generik bermerek dan obat paten) mencapai lebih 80 persen. Sedang obatan generik dengan harga lebih murah dengan khasiat sama tak lebih 17 persen.

Di Indonesia juga terlihat bagaimana obat generik yang bermerek (bukan paten/originator) mempunyai harga yang berlipat ganda dengan obat generik yang sama, meski memiliki kandungan dan manfaat sama.

Ketidakpahaman pasien dan masyarakat terhadap kualitas obat telah membuat harga obat tidak terkontrol.

Orang akan membayar harga obat yang diresepkan dokter. Pasien tidak paham pada saat dokter meresepkan obat, apakah obat paten, generik atau hanya sekadar generik bermerek.

Pemahaman masyarakat yang masih rendah, 90 persen bahan baku masih impor, rantai distribusi panjang membuat harga obat menjadi mahal dan menjadi faktor yang membuat akses obat berkualitas sulit terjangkau.

Dalam era JKN berbagai upaya kendali mutu dan kendali biaya sebetulnya telah dijalankan pemerintah.

Ditetapkanlah Formularium Nasional (Fornas) dan mekanisme pembelanjaan obat melalui E-catalogue. Fornas merupakan daftar obat yang ditetapkan oleh Menkes yang berkhasiat, aman dan harga terjangkau.

Sedangkan E-catalogue adalah mekanisme pembelian obat melalui aplikasi e-purchasing sebagai upaya mengendalikan harga obat yang ditetapkan Fornas.

Fasyankes dapat melaksanakan belanja obat secara langsung dengan mudah dan transparan tanpa melakukan proses lelang yang berpotensi korupsi dan menjadi mahal.

Yang perlu mendapat perhatian adalah implementasi Fornas dan E-catalogue yang telah ditetapkan. Masih banyak ditemukan masalah dalam implementasi.

Ketidaksesuaian obat di Fornas dengan yang tayang di E-catalogue, perbedaan obat di Fornas dengan Panduan Praktik Klinik, keterlambatan proses tayang obat di E-catalogue, serta kelemahan yang ditemukan pada aplikasi E-catalogue adalah serangkaian masalah yang terjadi selama ini.

Menjadi kenyataan bahwa harga obat mengacu mekanisme pasar yang mengakibatkan perbedaan harga siginifikan untuk obat generik, generik bermerek dan obat paten.

Jumlah perusahaan farmasi 241 perusahaan dengan jumlah distributor/pedagang besar farmasi sebanyak 2.087.

Terdapat persaingan yang cukup ketat antarpenyedia obat dan adanya persaingan tidak sehat. Mekanisme kerja sama dengan fasyankes dan dokter membutuhkan biaya yang membuat harga obat akhirnya menjadi mahal.

Sesuai dengan UU No 17 tahun 2023 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat.

Juga UU No 40 tahun 2004 dan Perpres No 82 tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan bahwa pelayanan obat berpedoman pada daftar obat yang ditetapkan oleh menteri (Fornas).

Yang diungkap Menkes baru-baru ini tentang harga obat di Indonesia mahal, dan kemudian dicarikan solusinya bersama Menperin, Menkeu dan Menko Marves merupakan upaya pemerintah mutakhir yang dilakukan untuk membuat harga obat di Indonesia lebih murah dan terjangkau.

Banyak faktor yang memengaruhi sengkarut mahalnya harga obat di Indonesia, termasuk impor bahan baku, pajak, distribusi, dan tatakelola penyediaan obat nasional secara umum.

Tentu tidak mudah karena komplesitas produksi dan perdagangan obat tergantung kepentingan pasar, tergantung pada bahan baku impor, serta investasi dalam industri farmasi yang perlu ditingkatkan.

Satu dua langkah solusi yang akan diambil pemerintah menjadi penting sebagai kebijakan long term yang diperlukan.

Kita dapat berbesar hati bahwa dalam lima tahun kedepan harga obat di Indonesia dapat terkendali dan lebih murah dengan mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) dalam pelayanan kesehatan di Tanah Air. Dengan UHC inflasi pembiayaan kesehatan dapat ditekan.

Sedikitnya 98 persen penduduk Indonesia menjadi anggota JKN (BPJS Kesehatan). Dengan UHC kita dapat memangkas 40-50 persen harga obat sekarang.

Dari sini dapat dilihat ketersediaan obat murah merupakan keputusan politik, kebijakan negara/pemerintah yang harus terus dikawal dan diperjuangkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau