KELUARNYA Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 4 Agustus 2024, menjadi bahan perbincangan hangat dan kehebohan di masyarakat.
Ramainya sorotan publik ini berasal dari Pasal 103 ayat 4 khususnya pada butir e di PP No. 28 Tahun 2024. Pasal ini mengatur upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja.
Dengan pasal dan ayat ini dianggap pemerintah menyetujui untuk dilakukannya pembagian alat kontrasepsi di sekolah-sekolah.
Tentu saja hal ini menimbulkan reaksi keras di masyarakat terutama di kalangan tokoh keagamaan karena justru bisa membahayakan bagi kehidupan sosial masyarakat, khususnya pergaulan remaja.
Penolakan terhadap berbagai bentuk pembagian alat kontrasepsi maupun penjualan alat kontrasepsi secara bebas tidak terlepas dari kondisi pergaulan bebas remaja yang semakin mengkhawatirkan.
BKKBN pada 2024, menyebutkan bahwa 60 persen remaja usia 16 – 17 tahun pernah melakukan hubungan seksual.
Pada kelompok usia 19-20 tahun ada 20 persen yang pernah melakukan hubungan seksual. Bahkan pada remaja usia 14-15 tahun juga ada 20 persen yang pernah melakukan hubungan seks.
BKKBN menyatakan bahwa seks bebas sudah menjadi masalah utama remaja di Indonesia yang bisa berdampak buruk pada kesehatan reproduksi dan perkembangan psikis remaja.
Data dari Guttmacher Institute (2000) menyebutkan bahwa diperkirakan ada 37 aborsi untuk setiap 1000 perempuan berusia 15-49 tahun atau sekitar 3,7 persen perempuan usia 15-49 tahun mengalami kehamilan tidak diinginkan yang kemudian digugurkan.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Nurhafni pada 2022 menemukan bahwa dari 405 kehamilan yang tidak direncanakan, 95 persennya dilakukan oleh remaja usia 15 tahun sampai 25 tahun.
Hasil penelitian di Bandung menunjukkan bahwa 20 persen dari 1000 remaja pernah melakukan seks bebas.
Sementara jika dilihat dari kejadian aborsi, angka kejadian aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus dengan 1,5 juta di antaranya dilakukan oleh remaja.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa seks bebas sudah di kalangan remaja dan bahkan pelajar menjadi masalah yang sangat serius dan perlu mendapat perhatian besar.
Ada peringatan yang cukup jelas terhadap masa depan bangsa terutama dari sisi moral dan karakter karena ancaman pergaulan bebas.
Hal ini menyebabkan munculnya reaksi keras dan kekhawatiran terhadap berbagai kegiatan berbentuk membagikan alat kontrasepsi tanpa kontrol yang ketat dan regulasi jelas. Wajar jika publik juga memberikan sorotan terhadap penerbitan PP No. 28 Tahun 2024 ini.
UU No. 17 Tahun 2023 yang menjadi “induk” dari PP No. 28 Tahun 2024 sejak awal diajukan sampai dengan pembahasannya memang menimbulkan kontroversi dan menjadi sorotan publik.
Bukan hanya karena kesehatan merupakan hal krusial, namun juga karena UU Kesehatan yang baru ini berformat Omnibus Law, yaitu menggabungkan beberapa UU yang sudah ada dan dalam bidang sama menjadi satu UU.
Proses pembahasannya yang cepat, hanya beberapa bulan saja, padahal mengatur banyak hal serta adanya pasal-pasal kontroversi menyebabkan UU ini banyak mengalami penolakan dari berbagai kalangan.
Sayangnya ketika peraturan pelaksana dari UU No. 17 Tahun 2023 ini keluar dalam bentuk peraturan pemerintah, ternyata terlalu umum karena cakupan pengaturanya masih tentang kesehatan secara keseluruhan.
Salah satu bagian dalam UU No. 17 Tahun 2023 ini adalah pengaturan tentang Kesehatan Reproduksi yang diatur dalam Pasal 54 sampai 62.
Muatan pengaturan tentang kesehatan reproduksi dalam UU No. 17 Tahun 2023 ini sebetulnya sangat baik di mana upaya kesehatan reproduksi ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.
Upaya kesehatan reproduksi yang diatur meliputi: (i) masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan; (ii) pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi, dan kesehatan seksual, dan (iii) kesehatan sistem reproduksi.
Dalam UU No. 17 Tahun 2023 ini juga diatur setiap orang punya hak untuk memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungiawabkan.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kesehatan reproduksi dalam PP No. 28 Tahun 2024 diatur dalam Pasal 96 sampai 130. Pengaturan kesehatan reproduksi yang menjadi perhatian publik terkait dengan peredaran alat kontrasepsi terdapat pada Pasal 103 yang mengatur tentang upaya kesehatan sistem reproduksi pada usia sekolah dan remaja.
Upaya ini mencakup pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana diatur dalam ayat (1).
Pada bagian upaya kesehatan reproduksi dalam bentuk pelayanan kesehatan reproduksi, dilakukan melalui (a) deteksi dini penyakit atau skrining; (b) pengobatan; (c) rehabilitasi; (d) konseling; dan (e) penyediaan alat kontrasepsi.
Pelayanan kesehatan reproduksi melalui penyediaan alat kontrasepsi yang menjadi kontraversi karena objeknya adalah usia sekolah dan remaja.
Dalam aturan ini tidak dijelaskan atau tambahan bahwa usia sekolah dan remaja yang dimaksud adalah yang sudah menikah. Sehingga bisa ditafsirkan penyediaannya juga dilakukan untuk semua usia sekolah dan remaja.
Adanya objek usia sekolah juga bisa ditafsirkan bahwa penyediaan ini bisa dilakukan di lingkungan sekolah untuk menyasar usia sekolah.
Demikian juga kata “penyediaan” bisa ditafsirkan untuk dilakukan secara pasif (penyediaan) maupun aktif (memberikan/membagikan) pada penduduk usia sekolah dan remaja.
Hal inilah yang dikhawatirkan oleh masyarakat karena bisa menyuburkan praktik seks bebas di kalangan remaja karena “difasilitasi” oleh peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Setelah menjadi sorotan publik, pemerintah memang menyatakan bahwa penyediaan alat kontrasepsi yang dimaksud pada Pasal 103 ayat (4) butir e adalah untuk usia sekolah dan remaja yang sudah menikah dan akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Hal ini justru menunjukkan kelemahan Omnibus Law Kesehatan karena Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana dari Omnibus Law justru tidak menyederhanakan peraturan dan menimbulkan banyak penafsiran.
Masih diperlukan aturan di tingkat menteri untuk menjelaskan pihak yang menjadi objek pengaturan. Jika masih harus menunggu Permenkes, maka ini sama sekali tidak menyederhanakan regulasi.
UU Kesehatan dibuat dengan sistem Omnibus dengan dalih menyederhanakan regulasi, namun aturan turunannya malah harus berbelit-belit dan birokratis.
Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan salah penafsiran di pelaksana regulasi ini maupun di masyarakat, maka sebaiknya dilakukan revisi terhadap Pasal 103 ayat 4 ini.
Revisi dilakukan dengan secara tegas mencantumkan usia sekolah dan remaja yang sudah menikah.
Demikian juga dengan pengaturan penyediaan, tidak dilakukan dengan membagikan (aktif), melainkan penyediaan sebagai bagian dari upaya konseling kepada usia sekolah dan remaja yang sudah menikah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya