KOMPAS.com — Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tengah mengkaji ulang Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Sumpah Dokter, dengan tujuan menyesuaikan dengan perkembangan peradaban manusia yang semakin maju.
Proses revisi ini merujuk pada perubahan kode etik internasional serta mempertimbangkan kondisi dan nilai budaya lokal yang berlaku di Indonesia.
Ketua MKEK IDI, Djoko Widyarto JS, mengungkapkan hal ini dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Sabtu (16/11/2024), seperti dikutip dari Antara.
Ia menjelaskan bahwa perubahan Sumpah Dokter yang pertama kali dilakukan oleh World Medical Association pada tahun 2017 belum diikuti oleh Indonesia.
Selain itu, pada tahun 2022, perubahan kode etik kedokteran internasional juga menjadi acuan dalam kajian ini.
Baca juga: Kecukupan Gizi Ibu Hamil: Kunci Utama Cegah Stunting sejak Dini
Djoko menyebutkan, pihaknya telah menyiapkan draf kode etik dan sumpah yang baru.
"Besok akan kita bahas dan itu pun belum disahkan dalam muktamar. Masih menunggu muktamar di Lombok bulan Februari 2025, setelah itu baru sah, itu akan berlaku," ujarnya.
Draf revisi ini, menurut Djoko, mengacu pada kode etik internasional yang berlaku saat ini, namun tetap memperhatikan nilai-nilai budaya lokal yang ada di Indonesia.
KODEKI yang digunakan Indonesia saat ini adalah hasil revisi tahun 2012, dengan 21 pasal. Namun, seiring perkembangan zaman, terdapat beberapa bagian dari KODEKI yang dinilai perlu penyesuaian.
"Kode etik kita itu tahun 2012, ada 21 pasal dan kita sudah melihat apa yang ada di KODEKI itu ada beberapa yang perlu disesuaikan dengan perkembangan," tambahnya.
Salah satu isu penting yang menjadi perhatian dalam kajian ulang kode etik ini adalah perkembangan teknologi kesehatan, terutama dalam bidang telemedicine.
MKEK IDI mengaku telah menerima masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan terkait penerapan telemedicine yang semakin luas.
Hal ini sejalan dengan kebutuhan profesionalisme dalam praktek kedokteran yang berkembang pesat di era digital.
Wakil Ketua Divisi Kemahkamahan MKEK Pusat IDI, Bahtiar Husain, menjelaskan bahwa kajian ini juga mencakup perbedaan nilai budaya dalam menentukan etika kedokteran.
Salah satu contoh konkret adalah tentang aborsi. Bahtiar menekankan bahwa meskipun aborsi legal di negara-negara Barat, di Indonesia praktik ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan harus disesuaikan dengan norma budaya setempat.
"Etika ini adalah milik profesi, yang harus dibuat, dipantau dan dievaluasi oleh profesi, dan etika adalah yang membuat sebuah profesi mulia. Menjadi salah satu pilar membentuk profesionalisme dokter selain keilmuan/knowledge, skill, dan attitude," ujar Bahtiar.
Selain itu, Ketua Dewan Penasehat MKEK IDI, Frank Santosa, menambahkan bahwa salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam kajian ini adalah pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam diagnosis medis.
Frank mengingatkan bahwa meskipun AI dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit, namun dokter tetap harus bertanggung jawab atas setiap keputusan medis yang diambil, terutama jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada pasien akibat penggunaan teknologi tersebut.
Proses revisi KODEKI dan Sumpah Dokter ini diharapkan dapat mengakomodasi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta kebutuhan sosial dan budaya yang ada di Indonesia, sehingga profesi kedokteran dapat terus berperan secara optimal dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Revisi ini juga menjadi bagian dari upaya untuk memastikan profesionalisme dokter Indonesia tetap terjaga dan relevan dengan tantangan zaman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.