Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Risiko Stunting dan Gangguan Pertumbuhan pada Bayi Alergi Susu Sapi

Kompas.com - 02/12/2024, 17:20 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com - Alergi susu sapi merupakan jenis alergi yang paling banyak diderita balita di Indonesia. Jika tidak diatasi, alergi ini bisa mengganggu pertumbuhan bahkan meningkatkan risiko stunting.

Alergi susu sapi adalah respon abnormal dari sistem kekebalan tubuh, di mana protein dalam susu sapi dianggap berbahaya.

Susu sapi terdiri dari tiga komponen utama, yaitu protein, laktosa, dan lemak. Pada anak yang alergi susu sapi, protein adalah pemicunya.

Selain susu sapi, makanan yang dapat memicu alergi adalah telur, daging ayam, hingga kacang-kacangan.

Pakar alergi dan imunologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Prof.Anang Endaryanto Sp.A(K) menyebutkan, angka kejadian alergi susu sapi pada anak di Indonesia terus meningkat, dengan jumlah kasus 0.5-7,5 persen per tahun dari jumlah kelahiran bayi.

"Ada beberapa riset yang mengaitkan anak-anak yang alergi kebanyakan lahir dengan persalinan caesar dan pemberian ASI kurang lama," katanya.

Baca juga: Ingin Persalinan Caesar Tanpa Indikasi Medis, Pahami Dulu Risikonya

Persalinan caesar dapat menyebabkan disbiosis atau gangguan keseimbangan bakteri di usus. Hal tersebut terjadi karena bayi tidak terpapar bakteri dari jalan lahir seperti halnya bayi yang lahir spontan.

Peneliti bidang pencernaan pediatrik, Dr.Thomas Ludwig menerangkan, paparan bakteri baik dari jalan lahir sangat penting untuk membangun mikrobiota usus sehat yang berfungsi sebagai fondasi awal untuk sistem imun.

Prof.Anang Endaryanto Sp.A(K)KOMPAS.com/Lusia Kus Anna Prof.Anang Endaryanto Sp.A(K)

"Absennya paparan bakteri baik ini bisa berdampak jangka pendek seperti peningkatan risiko alergi pada bayi, misalnya eksim atau alergi makanan. Sedangkan dalam jangka panjang bisa meningkatkan risiko penyakit tidak menular hingga gangguan pemusatan perhatian," katanya.

Faktor risiko alergi pada anak lainnya adalah persalinan prematur, alergi makanan pada ibu, serta pemberian antibiotik saat kehamilan.

Paparan mengenai dampak persalinan caesar dan juga alergi susu sapi menjadi salah satu topik yang disampaikan dalam acara Expert Scientific Lecture yang diadakan di Pusat Riset dan Inovasi Global Danone di Utrecht, Belanda, pada akhir November 2024 yang juga dihadiri oleh jurnalis Kompas Health.

Baca juga: Beda Penanganan Anak Alergi Susu Sapi dan Laktosa Intoleran

Tatalaksana alergi susu sapi

Penatalaksanaan anak dengan alergi protein susu sapi yang terpenting adalah dengan menghindari alergen yaitu protein susu sapi dan memberikan penggantinya.

Dijelaskan oleh Dr.Ludwig, pemberian ASI eksklusif pada bayi yang lahir lewat operasi caear dapat membantu mencegah disbiosis sehingga risiko alergi dapat ditekan.

"ASI mengandung kombinasi prbiotik dan probiotik yang dapat meningkatkan jumlah bakteri baik dalam usus dan menyeimbangkan mikrobiota pada bayi yang dilahirkan lewat operasi caesar," katanya.

Mikrobiota dalam ASI memiliki Bifidobacterium yang terdiri dari 50 persen Bifidobacterium breve di dalamnya.

Sementara itu pada bayi yang tidak mendapatkan ASI, disarankan untuk berkonsultasi kepada dokter anak untuk mendapatkan alterntif terbaik agar si kecil tetap mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.

Menurut Prof.Anang, alergi susu sapi tidak bisa diremehkan apalagi seringkali terjadi pada periode kritis pertumbuhan dan perkembangan anak.

Baca juga: Alergi Susu Sapi pada Anak Bisa Dicegah Sejak Dalam Kandungan

"Jika tidak diatasi alergi susu sapi bisa menyebabkan inflamasi kronik dan ini terjadi pada periode kritis pertumbuhan dan perkembangan sistem imun anak. Dampaknya adalah terganggunya kecerdasan fisik dan mental, serta dalam jangka panjang bisa meningkatkan risiko penyakit tidak menular," paparnya.

IlustrasiThinkstockphotos Ilustrasi

Pemberian nutrisi yang tidak optimal juga dapat menyebabkan bayi kekurangan nutrisi yang dibutuhkannya sehingga berat badan bayi kurang dan beresiko stunting.

Ditambahkan oleh dr.Klara Yuliarti Sp.A(K), pemberian nutrisi yang cukup pada bayi sangat penting, apalagi menurutnya setelah bayi mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan dan mulai mendapat makanan pendamping ASI (MPASI) bayi bereisko mengalami kenaikan berat badan yang tidak adekuat.

"Bayi berusia 6 bulan belum bisa 100 persen kebutuhan nutrisinya hanya dari MPASI, 70 persen harus didapat dari ASI. Lalu di usia 9-11 bulan, 50 persen didapat dari MPASI dan ASI," papar pakar nutrisi dan penyakit metabolik ini.

Baca juga: Bukan Hanya Masalah Gizi, Infeksi Berulang Juga Picu Stunting

Ia menyebutkan, bayi berusia 1-2 tahun, sekitar 70 persen kebutuhan nutrisinya berasal dari makanan padat baru sisanya dari ASI.

"Jadi, kalau bayi yang alergi tidak mendapat ASI harus ada penggantinya, karena tidak bisa hanya mengandalkan dari MPASI 100 persen," ujarnya.

Untuk meminimalisir dampak alergi pada bayi, pedoman European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) merekomendasikan susu sapi terhidrolisis ekstensif (eHF) sebagai pengobatan lini pertama untuk anak-anak dengan kondisi alergi protein susu sapi, atau pun susu asam amino.

Di Indonesia, harga susu tersebut telah tersedia dan harganya memang relatif mahal karena formulasinya yang khusus dan masih diimpor.

Di Eropa, susu khusus sebagai terapi anak alergi susu sapi ditanggung oleh asuransi atau asuransi sosial dari pemerintah.

Menurut Prof.Anang, pada umumnya anak akan bisa menoleransi protein susu sapi seiring bertambahnya usia.

Meski begitu, pada masa kritis pertumbuhan orangtua tidak boleh menyepelekan alergi susu sapi agar anak tidak sampai kekurangan nutrisi.

Baca juga: Mengapa Bayi yang Lahir Caesar Punya Sistem Imun Rendah

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau