KETIKA Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pertama kali diluncurkan pada 2014, masyarakat Indonesia menyambutnya dengan harapan besar.
Program ini disebut sebagai salah satu langkah monumental untuk mewujudkan Universal Health Coverage (UHC), memastikan semua warga negara memiliki akses ke layanan kesehatan yang layak.
Namun, sepuluh tahun berlalu, apakah BPJS telah benar-benar mencapai tujuannya?
Kenyataannya, banyak rumah sakit dan pasien kini terjebak dalam labirin kebijakan yang sering kali kontradiktif.
Baca juga: Rumah Sakit, BPJS, dan Kecurangan yang Merugikan Banyak Pihak
Di satu sisi, BPJS menuntut efisiensi dan penghematan biaya operasional. Di sisi lain, kebijakan yang diterapkan justru sering kali mengabaikan kebutuhan medis riil pasien dan membebani rumah sakit secara finansial.
Mari kita lihat kasus pasien hemodialisis (HD). Banyak dari mereka menderita penyakit jantung atau komorbiditas lain yang membutuhkan kontrol medis rutin.
Namun, kebijakan BPJS membatasi kunjungan rawat jalan hanya satu kali dalam sebulan. Seorang pasien HD yang melakukan kontrol dua kali seminggu akan ditolak jika mencoba berkonsultasi ke dokter spesialis jantung pada bulan yang sama.
Apakah kebijakan ini efisien? Mungkin, di atas kertas iya. Namun dalam praktiknya, pasien yang ditolak konsultasi medis berpotensi mengalami komplikasi serius.
Rumah sakit sering berada di posisi dilematis: melayani pasien dengan risiko klaim ditolak atau mematuhi kebijakan dan mengorbankan keselamatan pasien.
Cerita lain datang dari pasien gagal napas akut. Dalam kondisi ini, prosedur standar mengharuskan pemeriksaan gas darah arteri (AGD) untuk menentukan tingkat keparahan.
Namun, meskipun pasien memenuhi kriteria saturasi oksigen <91 persen, klaim BPJS dapat ditolak jika hasil AGD dianggap tidak sesuai.
Baca juga: Bom Waktu Defisit Finansial BPJS Kesehatan
Ironisnya, panduan medis yang diakui dunia internasional menekankan bahwa keputusan harus diambil berdasarkan kombinasi tanda klinis, bukan hanya satu parameter laboratorium. Namun apa daya, administrasi sering kali lebih berkuasa dibanding keputusan medis.
Tak hanya pasien, rumah sakit pun menghadapi beban yang kian berat. Sistem pembayaran klaim yang lambat membuat banyak rumah sakit, terutama swasta, kesulitan menjaga keberlanjutan operasional.
Beberapa rumah sakit bahkan harus meminjam dana untuk menalangi biaya perawatan pasien BPJS sambil menunggu pembayaran.
Persoalan tak berhenti di sana. Standar baru seperti Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mengharuskan rumah sakit melakukan renovasi besar-besaran untuk memenuhi 12 kriteria yang ditetapkan.