PEMUTUSAN kerja sama antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit yang terlibat kecurangan selalu menjadi berita besar.
Di satu sisi, langkah ini menunjukkan keberanian pemerintah menegakkan aturan. Namun, di sisi lain, kita harus jujur mengakui bahwa masalah ini tidak sederhana.
Dari sisi pasien, karyawan rumah sakit, hingga sistem kesehatan nasional, dampaknya menjalar jauh lebih kompleks dari sekadar putusnya kontrak.
Kasus-kasus kecurangan rumah sakit, seperti klaim fiktif atau manipulasi data pasien, telah mencoreng reputasi layanan kesehatan di Indonesia.
Baca juga: BPJS Kesehatan Putus Kerjasama 2 RS di Brebes Akibat Kecurangan Klaim Miliaran Rupiah
Sebagai institusi yang dipercaya menjaga kesehatan masyarakat, tindakan ini jelas tak dapat dibenarkan.
Namun, mari kita melihat persoalan ini secara lebih mendalam. Mengapa rumah sakit, institusi yang semestinya memegang etika tinggi, sampai terjebak dalam tindakan seperti ini?
Salah satu akar masalahnya adalah plafon biaya yang ditetapkan BPJS Kesehatan. Skema pembiayaan BPJS sering kali dinilai tidak sebanding dengan biaya operasional rumah sakit, terutama untuk layanan rawat inap dan tindakan medis kompleks.
Dengan plafon yang kecil, rumah sakit harus “berjuang” menutupi biaya obat, alat kesehatan, dan honor tenaga medis.
Dalam beberapa kasus, situasi ini menciptakan tekanan besar yang mendorong sebagian pihak mengambil jalan pintas melalui kecurangan.
Sayangnya, dampak dari plafon kecil tidak hanya dirasakan oleh rumah sakit, tetapi juga pasien. Ketika plafon terlalu rendah, rumah sakit sering kali kesulitan memberikan layanan optimal.
Baca juga: Bom Waktu Defisit Finansial BPJS Kesehatan
Beberapa fasilitas bahkan memilih membedakan perlakuan terhadap pasien BPJS dan pasien reguler. Diskriminasi semacam ini, meskipun tidak dibenarkan, adalah realitas yang kerap terjadi.
Selain itu, sistem BPJS Kesehatan masih menghadapi tantangan serius dalam tata kelola dan pengawasannya.
Sebagai program besar yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, BPJS memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan layanan kesehatan dapat diakses oleh semua kalangan.
Namun, minimnya pengawasan di tingkat pelaksana sering membuka celah bagi pelanggaran.
Sistem klaim yang kompleks dan terkadang lambat membuat rumah sakit mengalami kesenjangan arus kas.
Ketika BPJS Kesehatan memutus kerja sama dengan rumah sakit bermasalah, tentu ada pesan moral yang ingin disampaikan: aturan harus ditegakkan. Namun, langkah ini tidak boleh berhenti di sana.