Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pejalan Kaki, Paria di Ibu Kota

Kompas.com - 17/08/2010, 14:09 WIB
*) Oleh  Benny H. Hoed

    KOMPAS.com - Saat kita berjalan kaki di jalan superprotokol seperti Thamrin dan Sudirman atau di sekitar Mega Kuningan, memang kita merasa aman dari serempetan kendaraan bermotor karena jalur untuk pejalan kaki lebar. Di beberapa jalan yang lain, pejalan kaki masih mendapat jalurnya sendiri, meski sempit dan bergelombang atau belubang-lubang.

Pada musim hujan saat terjadi genangan air, beberapa kali terjadi anak kecil masuk ke lubang gorong-gorong yang tak tertutup dan ditemukan tak bernyawa di Kanal Banjir. Saat jalan macet, jalur pejalan kaki disita sepeda motor yang ingin cepat sampai ke tujuan. Akibatnya tidak sedikit pejalan kaki terserempet dan luka.      Jalur pejalan kaki biasa disebut trotoar. Susahnya nasib trotoar kita ini sangat memprihatinkan. Alih-alih menjadi jalur pejalan kaki, ia menjadi tempat berpangkalnya golongan yang disebut “pedagang kaki lima”. Entah dari mana asal kata ini, tetapi yang jelas mereka merupakan penyita jalur yang seharusnya digunakan untuk pejalan kaki.

Yang menarik lagi, pedagang kaki lima ini, kalau sudah merasa betah, mulai membangun tenda dan bahkan bangunan semipermanen. Pada saat mereka diharuskan meninggalkan jalur pejalan kaki, langsung terjadi bentrokan dengan aparat pemda. Soalnya mereka juga merasa membayar uang sewa lahan kepada aparat pemda, entah resmi entah tidak.      Maka selama bertahun-tahun para pejalan kaki menjadi “paria” di Ibu Kota. Pada pengamatan saya, di kota ini kita yang dianggap pengguna jalan raya adalah “kendaraan bermotor”.

Akhir-akhir ini ada wacana BTW (bike to work): “sepeda” menjadi salah satu jenis kendaraan pengguna jalan raya. Nah, pejalan kaki bagaimana? 

Paling-paling diberi peluang untuk menyeberangi jalan raya dengan aman melalui tempat penyeberangan atau “zebra cross”. Selain itu, tidak ada konsep yang jelas yang mengakomodasikan “pejalan kaki” sebagai pengguna jalan raya. Mungkin konsepnya ada, tetapi dalam wacana kebijakan publik golongan pengguna jalan raya ini tidak terdengar.

Padahal jumlah mereka banyak sekali. Banyak di antara mereka penumpang kendaraan umum yang turun di tempat-tempat tertentu. Jadi, pejalan kaki adalah pengguna jalan raya juga, seperti halnya kendaraan bermotor dan sepeda.      Mungkin pemerintah sedang pusing menghadapi masalah pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor sehingga dijawab dengan pembangunan MRT (mass rapid transport) dan belakangan ini BTW yang wujudnya jalur khusus sepeda. Padahal, setelah turun dari kendaraan umum, para penumpang MRT berubah menjadi pejalan kaki.

Di sinilah diperlukan jalur untuk mereka. Seharusnya kebijakan MRT harus lebih seiring dengan WTW (walk to work), bukan dengan BTW. Di tengah gaung wacana BTW dan MRT kita melupakan WTW.      Inilah contoh kebijakan tambal-sulam yang tak ada hentinya di negeri kita. Selama kebijakan tambal-sulam terus berlangsung, maka kota Jakarta akan tetap menjadi kota yang tak manusiawi. Para pejalan kaki akan tetap menjadi paria di Ibu Kota.

*) Benny H. Hoed – Guru Besar Emeritus FIBUI, pengamat budaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com