SINGAPURA, KOMPAS.com - Hasil riset menunjukkan, para dokter cenderung memberi resep obat buatan perusahaan farmasi yang mempromosikan produknya ke dokter bersangkutan. Alhasil, pasien harus membayar lebih biaya obat tersebut dan seringkali tidak memeroleh pengobatan yang tepat .
Fakta tersebut adalah hasil penelitian yang digagas Geoffrey Spurling dari Universitas Queensland, Brisbane, Australia. Hasil analisis terhadap 58 studi di sejumlah negara itu juga mengungkapkan bahwa informasi dari perusahaan farmasi mempengaruhi para dokter dalam menetapkan resep kepada pasiennya.
"Anda tak bisa mengatakan bahwa informasi dari perusahaan-perusahaan farmasi itu membantu peresepan obat para dokter seperti diklaim perusahaan-perusahaan farmasi itu," kata Spurling.
Klaim para dokter bahwa mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh informasi perusahaan farmasi saat memutuskan resep obat pasiennya juga tidak terbukti daalam hasil studi itu. "Anda patut mengatakan bahwa setidaknya pada saat tertentu, para dokter itu terpengaruh," ujar Spurling seperti dikutip Reuters.
Beberapa peneliti yang terlibat dalam riset Spurling ini merupakan anggota "Healthy Skepticism", organisasi riset, pendidikan, bantuan hukum nirlaba internasional yang dibentuk untuk membantu mengurangi bahaya informasi kesehatan yang menyesatkan bagi publik.
Laporan penelitian itu menyebutkan bahwa para dokter yang menerima penjelasan maupun informasi dari perusahaan farmasi lebih mungkin memberi resep obat produksi perusahaan farmasi bersangkutan kepada pasiennya.
Hasil 38 studi yang dilakukan juga menunjukkan adanya kecenderungan keterkaitan langsung antara informasi perusahaan farmasi itu dan peresepan obat.
Namun hasil 13 studi lainnya tidak menunjukkan adanya keterkaitan itu, kata Suprling dan anggota tim riset pimpinannya dalam laporan penelitian yang dipublikasi jurnal "Public Library of Science PLoS Medicine" tersebut.
Tidak satu pun hasil studi itu mendapati para dokter menjadi kurang sering memberi resep obat karena bahan promosi maupun informasi perusahaan farmasi.
Menanggapi hasil riset yang dilakukan di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Denmark, Prancis, Estonia, Turki dan Australia, Dr.Sid Wolfe dari kelompok advokasi, Public Citizen, mengatakan bahwa industri farmasi tidak mengeluarkan dananya berikut staf penjualan obat kalau tingkat keberhasilannya nol.