KOMPAS.com - Sepanjang hidup selalu ada peristiwa besar dan kecil di mana kita merasa menjadi korban. Mulai dari pasangan yang tak mau berbagi tugas rumah tangga, ketidaksetiaan, hingga pembunuhan massal. Dari semua peristiwa itu, kita harus memutuskan untuk memaafkan atau tidak.
Bukankah banyak dari kita yang merasa, enak sekali mudah memaafkan orang yang sudah bikin hidup kita berantakan? Akankah mereka mengulangi perbuatan mereka? Jika kita tak memaafkan, siapa yang sebenarnya disakiti? Dengan memendam amarah dan kepahitan, bukankah kita seperti sedang membangun penjara mental untuk diri sendiri?
Di satu titik, kita harus membuat keputusan mengenai siapa yang dimaafkan, kapan dan untuk apa. Ketika membuat keputusan sangat personal ini, ada enam fakta berbasis riset yang perlu dipertimbangkan:
1. Memaafkan membuat Anda lebih bahagia dan sehat
Banyak studi membuktikan, orang yang memaafkan lebih bahagia dan sehat. Menahan amarah dapat merusak kesehatan. Bila tak memaafkan, tubuh kita mengeluarkan banyak hormon stres kortisol setiap kali kita memikirkan kejadian menyakitkan itu. Merenungkan kerusakan yang disebabkan kejadian itu dapat meningkatkan tekanan darah dan membebani jantung.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat membuat kita jadi rentan kena penyakit dan membuat perhatian menjauhi kesehatan dan kebahagiaan di masa sekarang. Kita juga malah jadi kurang percaya dan tak suka berhubungan dengan orang-orang yang membawa cinta dan kesenangan.
2. Waspadai "Efek Keset"
Manfaat memaafkan dalam relasi dekat seperti misalnya suami istri bergantung pada bagaimana si pelaku kejahatan merespon maaf tadi. Bila dia terus tak mengabaikan atau tak menghormati Anda, lama kelamaan Anda bakal seperti keset yang bakal merendahkan harga diri.
Riset pada pasangan membuktikan ketika salah satu tidak mengubah atau menunjukkan penyesalan, pemaafan dari pasangan sebenarnya merendahkan harga diri orang yang memaafkan. Maaf dapat meningkatkan harga diri pada mereka yang pasangannya bertanggung jawab dan berusaha mengubah perilaku.
3. Kurangnya pengampunan menggerus rasa kemitraan
Orang bijak pernah berkata,"Pernikahan bahagia adalah penyatuan dua orang pemaaf yang baik." Setiap orang kadang mengacau keadaan dan sebaiknya hal-hal kecil dimaafkan daripada berubah menjadi siklus negatif.
Riset membuktikan pasangan yang tak mau belajar memaafkan, cenderung berlomba dan memfokuskan diri menjadi pihak yang "benar" dan memenangkan perdebatan daripada bekerja sama menyelesaikan masalah.
4. Intensi dan tanggung jawab membuat perbedaan
Mudah bagi kita memaafkan seseorang yang tak menyadari diri mereka menyebabkan kekacauan daripada seseorang yang secara sengaja melukai orang lain. Juga, bila kita melihat tindakan itu karena hal-hal di luar dugaan, bukan pilihan pribadi, kita pun lebih mudah memaafkan.
Lebih mudah memaafkan teman atau rekan kerja yang terlambat ketika tahu mereka terhambat kecelakaan di tengah jalan. Untuk belajar memaafkan, pikirkan keadaan di luar dugaan yang menyebabkan perilaku buruk. Apakah orang itu berada di bawah tekanan, mendapat salah informasi, diintimidasi orang lain atau sakit jiwa? Apakah mereka pernah diabaikan atau disiksa ketika masih kecil? Kendati kondisi ini tidak menghilangkan kerusakan yang disebabkan mereka, kondisi itu mungkin membantu Anda merasa punya empati terhadap si pelaku kejahatan sehingga Anda tak menganggap kejahatan itu sepenuhnya perilaku buruk mereka.
5. Emosi ikut terlibat
Studi pada pemindaian otak membuktikan pusat-pusat emosi dalam sistem limbik menyala ketika kita mempertimbangkan untuk memaafkan orang lain. Riset membuktikan emosi negatif secara umum seperti amarah dan perasaan terluka membuat kita sulit memaafkan.
6. Memilih memaafkan adalah tindakan pemberdayaan
Memaafkan tidak berarti melupakan atau bahkan membiarkan sebuah tindakan tidak dihukum. Kita mungkin mengampuni seseorang secara emosi tetapi masih merasa mereka perlu mendapatkan konsekuensi perbuatan mereka. Atau kita mungkin masih merasakan kebutuhan melindungi orang-orang yang bakal jadi korban selanjutnya.
Untuk keselamatan dan kesejahteraan, kita mungkin memilih menjauhkan si pelaku kejahatan dari kehidupan kita dan masyarakat. Mengampuni berarti melakukan hal seperti itu dalam damai, tak lagi mengharapkan mereka menderita atau membalas dendam terhadap mereka. Bagi kita, menyimpan amarah dan kepahitan berarti memberi si pelaku kejahatan daya atas hidup kita. Sementara membiarkan emosi negatif itu pergi membebaskan hidup kita secara psikologi.
Mengampuni berarti terus bekerja dan menjadi orang baik bahkan ketika harus menghadapi perbuatan jahat. Pesan terpentingnya adalah cinta lebih kuat daripada kebencian dan rasa takut.