KOMPAS.com - Saat ini di Amerika Serikat terjadi pergeseran budaya dalam hal citra tubuh pria. Pria "ideal" adalah yang berotot. Pria jadi kurang puas dengan dirinya dan konsekuensinya mengonsumsi obat berpotensi berbahaya.
"Jika kita lihat perubahan selama 30-45 tahun bagaimana pria digambarkan di Hollywood, kartun, majalah dan mainan aksi, kita mellihat tubuh pria saat ini tampak lebih berotot," kata Dr Harrison Pope, direktur Biological Psychiatry Laboratory di McLean Hospital Massachusetts.
Citra media yang tak realistis itu menyebabkan ketidakpuasan di antara pria, sebuah problem yang biasanya dialami wanita.
Sebuah studi tahun lalu menemukan pria Amerika seperti halnya wanita merasa tak puas dengan fisiknya. Sementara studi lain menemukan, remaja pria yang kurang puas dengan bentuk tubuhnya cenderung lebih banyak daripada wanita untuk mengkritik diri sendiri dan merasa tertekan.
Studi-studi lain bahkan menemukan pria merasa lebih buruk pada tubuhnya sendiri setelah bermain video games.
"Ada kepercayaan bahwa otot itu sama dengan maskulinitas. Kita melihat semakin banyak pria muda mengalami dismorfia otot," kata Pope.
Konsekuensi dari hal seperti itu dapat berbahaya. Semakin banyak pria pergi ke gym dengan harapan mengubah dirinya menjadi pria berotot seperti the Rock.
Banyak yang menggunakan anabolic steroid untuk mendapatkan massa otot yang diasosiasikan dengan maskulinitas. Hampir 4 juta pria Amerika pernah mencoba memakai steroid dalam satu titik hidup mereka. Demikian menurut penemuan Pope.
"Terdapat mispersepsi luas bahwa penggunaan anabolic steroid adalah masalah kecurangan dalam olahraga. Faktanya, banyak pengguna steroid itu justru bukan atlet," kata Shalender Bhasin, peneliti kesehatan pria dari Brigham and Women's Hospital.
Ia juga salah satu peneliti dalam tim Pope yang diterbitkan di jurnal American Medical Association. "Sebagian besar pria muda pengguna steroid itu untuk memperbaiki penampilan mereka," katanya.
Efek samping potensial anabolics steroid adalah kematian dini dan gangguan neurobehavioral seperti gangguan berpikir dan atensi. Namun Pope mengatakan, gangguan jantung gara-gara pemakaian steroid ini justru yang paling mengkhawatirkan.
"Ada banyak literatur yang menyebutkan penggunaan steroid dapat menyebabkan cardio myopathy, di mana jantung tidak memompa atau terisi darah secara efisien," terang Pope. Itu dapat menyebabkan serangan jantung atau stroke.
Masih belum jelas seberapa besar risiko penyakit jantung ini, karena penggunaan steroid relatif fenomena baru. Pope mengatakan sedikit pria menggunakannya pada 1980-an. Para pengguna awal itu saat ini berusia 50 dan 60-an, usia di mana jantung mulai bermasalah.
Risiko besar lain dari penggunaan steroid adalah gangguan hormon. "Jika menggunakan steroid, tubuh mendapatkan asupan testosteron dari luar sehingga berhenti memproduksi," kata Pope.
Bhasin mengatakan, hal ini menyebabkan masalah gangguan jiwa misanya seperti keinginan untuk bunuh diri.
Ketika pria berhenti menggunakan steroid, produksi testosteron itu juga tak kontan bisa normal seperti biasa. Kekurangan hormon seks khas pria itu dapat menyebabkan depresi, mudah marah, gangguan ereksi, gairah seks rendah dan masih banyak lagi.
Hanya sedikit dokter dan psikolog yang menyadari betapa luasnya penyalahgunaan steroid belakangan ini dan tak banyak yang terlatih untuk mengatasi adiksi dan ketergantungan steroid.
Pria yang ingin berhenti memakai steroid dan tak menemukan bantuan dari dokter mungkin kembali menggunakan obat itu kembali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.