KOMPAS.com - Ini adalah kisah tentang pasienku, seorang wanita berusia 22 tahun - Fyness Limited. Juga tentang seorang wanita bersahaja yang selalu setia menemani Fyness.
Aku tidak akan pernah lupa bagaimana aku bertemu dengan Fyness, suatu hari di awal bulan Juni lalu. Fyness tinggal di dusun Mapangga, 10 kilometer arah barat dari pusat kesehatan kami. Mayoritas penduduk dusun di sana bekerja sebagai petani dan pemetik daun di perkebunan teh milik para saudagar asing. Para saudagar majikan mereka ini bagaikan legenda: sohor terkenal, namun tak satupun petani pernah berkesempatan bertemu mereka.
Bagaikan bayi Afrika, Fyness tiba di pusat kesehatan MSF dengan dibopong oleh seorang wanita. Fyness terbalut seuntai kain chitenje lusuh, yang menurutku telah basah kuyub dipenuhi keringat wanita yang membopongnya. Abigail Londe namanya. Ia bukan ibu ataupun kerabat Fyness. Ia merupakan satu-satunya teman dan keluarga yang dimiliki Fyness. Mereka berdua dipertemukan untuk pertama kalinya, suatu saat dulu, ketika mereka sama-sama terdiagnosa dan divonis mengidap HIV positif. Sejak saat itulah, suami dan keluarga menerlantarkan mereka.
“Matzuka buanji a mai” aku menyapa mereka saat mereka memasuki ruangan.
“Pangono, zikomo” Abigail menjawab dengan cepat...
“Dia tak berhenti muntah-muntah dan tidak bisa makan sejak minggu lalu, dokter,” terengah-engah dengan wajah ketakutan, Abigail mencoba menjelaskan kondisi Fyness.
Sekilas, aku mengamati tubuh lemas yang telah terbaring di ruang pemeriksaan. Kondisinya sangat mengkhawatirkan, dengan kulit kering membalut tulang-belulang serta rambut kekuningan nan rapuh. Hanya kakinya yang terlihat besar, bukan karena lemak ataupun otot, tapi karena kakinya mengalami pembengkakan cairan.
“Boleh saya lihat kartu kesehatannya, a mai,” aku menanyakan data medis Fyness.
Dalam sekejap aku telah mendalami informasi dalam buku oranye kecil yang telah diberikan padaku. Aku menelusuri setiap halaman kartu kesehatan milik Fyness, hingga akhirnya mataku terpaku pada data terakhirnya yang terekam beberapa minggu lalu. Dengan tinggi 167 cm, berat badan Fyness hanya 26 kilogram!
“Dia menderita gizi buruk akut, dokter, ini bukan pertanda baik,” bahkan Andy, staff penerjemah-ku yang telah berpengalaman serta selalu menemani aku sepanjang waktu, bisa dengan mudah mendiagnosa kondisi pasien yang satu ini.
Aku sependapat dengan Andy. Akupun sadar bahwa ini bukan pertanda baik. Wanita lemas yang berada didepanku saat ini dalam kondisi kritis.
Namun satu hal yang saat itu tidak aku sadari adalah bahwa hari itu merupakan awal dari sebuah kisah panjang Fyness di pusat kesehatan kami.
Sebagai sebuah pusat pelayanan kesehatan masyarakat, kami tidak memiliki bangsal. Yang tersedia hanyalah tiga ruangan kecil yang telah kami ubah menjadi ruangan observasi. Jumlah tempat tidur yang tersedia pun tidak mencukupi sehingga kadang kala para pasien kami terpaksa rela tidur di lantai. Oleh karena itu, pasien yang harus dirawat selama lebih dari seminggu selalu menjadi sebuah tantangan prestasi bagi kami.
Sampai awal minggu, kondisi Fyness belum juga berubah. Saking seringnya, kami tidak bisa lagi menghitung berapa kali Fynnes muntah bertubi-tubi membuat bajunya semakin mengenaskan dan berbau tak sedap. Namun Abigail selalu tanggap tanpa lelah membersihkan dan merapihkannya, tulus menyuapinya, serta penuh sabar membopongnya kapanpun Fynnes butuh ke kamar mandi. Akibat minimnya stok makanan tambahan, aku dan Andy bergantian menyempatkan diri pergi berbelanja berbagai keperluan pangan dan susu bagi mereka. Tapi Abigail tak sekalipun menyentuh belanjaan kami tersebut. Semua yang kami beli ia hidangkan bagi Fynnes.
Tak hanya sekali aku telah menawarkan untuk merujuk Fynnes agar dirawat di rumah sakit, dan berkali-kali pula Abigail menolak usulanku. Walaupun perawatan di sana (rumah sakit) juga gratis, mereka tidak memiliki dana untuk menopang hidup selama masa perawatan Fynnes di rumah sakit kabupaten. Selain itu, masih tersisa pengalaman traumatis mereka berhubungan dengan pihak rumah sakit. Fyness dan Abigail, keduanya pernah kehilangan bayi di rumah sakit tersebut, dan tak ingin kembali lagi ke sana.
Suatu sore, aku bercakap dengan Abigail...
“Kenapa kamu begitu peduli memperhatikan Fyness? Kamu harus memperhatikan dirimu juga, lho,” aku santai bertanya.
“Fyness merupakan satu-satunya yang aku miliki, dan akulah satu-satunya yang ia punyai,” jawab Abigail dengan polos.
Sebuah respons sederhana yang berhasil menjawab semua rasa ingin tahu-ku.
Setelah dua minggu dirawat, perlahan namun pasti, kondisi Fyness mulai membaik. Ia, yang tadinya lemah tak berdaya – bahkan untuk mendongakan kepalanya- akhirnya bisa duduk dan mengangguk menjawab pertanyaan. Abigail selalu setia mendampingi Fyness; membimbingnya ke toilet dan bergadang hingga larut menemani Fynnes menunggu jatah suntikannya setiap malam.
Hari ke-18 – bahagianya aku!
Fynnes bisa berdiri, walaupun masih harus bertopang pada Abigail. Pembengkakan di kakinya telah berkurang, sehingga ia tak lagi harus dipanggul dan tidak memerlukan sepotong kain chitenje sebagai pengikat kaki untuk bisa bergerak. Kini, ia hanya membutuhkan tempat bersandar dan sepasang telinga yang peduli mendengarkan kisahnya. Ya, Fynnes akhirnya mampu berbicara kembali!
“Abigail merupakan satu-satunya yang aku miliki,” jawaban yang sama keluar dari mulut Fynnes untuk sebuah pertanyaan serupa yang pernah aku tujukan ke Abigail....
Sehari sebelum aku memutuskan untuk mengijinkan Fynnes meninggalkan pusat kesehatan kami. Kami membeli sekilo kacang-kacangan dan susu, bukan untuk dinikmati Fynnes seorang, namun kali ini adalah untuk keduanya: Fynnes dan Abigail. Abigail lantas sibuk memasak shima serta menyajikannya bersama-sama dengan kacang-kacangan dan susu yang kami beli. Ia sungguh bersyukur bahwa masa-masa kritis Fynnes telah berakhir...
Dua puluh tiga hari aku menyaksikan kedua wanita ini saling menjaga satu sama lain di sebuah bangsal kecil di pusat kesehatan kami, aku terikat kagum. Cinta kasih yang keduanya tunjukan padaku, sejak itu, telah menyemangati aku untuk lebih berani menantang asa.
Jumat pun tiba, dan aku sedang berkemas menyelesaikan aktivitas harianku ketika aku melihat Abigail dan Fyness melalui jendela. Kali ini, tak seorangpun yang dibopong. Beriringan sejajar mereka berdua berjalan, meninggalkan pusat kesehatan kami. Dan kisah merekapun berakhir di sini...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.