Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/07/2013, 10:43 WIB

Kompas.com — Untuk menekan pertumbuhan jumlah penduduk, Indonesia seharusnya mencontoh negara-negara maju. Pasalnya, negara-negara tersebut punya riset yang memadai untuk kampanye penggunaan alat kontrasepsi.

“Alat kontrasepsi adalah salah satu faktor utama untuk mengontrol angka kelahiran, oleh karena itu, sepantasnya Indonesia meniru kesuksesan dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia,” ungkap pakar kependudukan, Sugiri Syarief, Senin (1/7/2013).

Di negara maju, jenis kontasepsi yang dipakai kebanyakan adalah kontrasepsi jangka panjang, seperti implan atau intrauterin device (IUD) yang lebih dikenal dengan KB spiral.

Mengacu data National Survey of Family Growth yang dirilis beberapa waktu lalu, para peneliti menemukan, sekitar 60% wanita Amerika Serikat (AS) menggunakan metode kontrasepsi yang efektif.

Hal tersebut dikuatkan oleh studi baru bertajuk “Effectiveness of Long-Acting Reversible Contraception” oleh Winner et al di New England Journal of Medicine. Studi tersebut menyebutkan, sekitar 50% dari kehamilan yang tidak diinginkan di AS akibat pemilihan kontrasepsi yang tidak konsisten dan tidak benar.

Para peneliti mencatat bahwa penggunaan kontrasepsi jangka panjang reversible (Long-Acting Reversible Contraception/LARC), seperti spiral atau susuk jauh lebih umum di negara-negara maju selain AS.

Secara keseluruhan, peserta KB yang menggunakan metode jangka pendek seperti pil, koyo, atau cincin memiliki risiko kegagalan kontrasepsi 20 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang menggunakan kontrasepsi jangka panjang.

Namun, hal tersebut dinilai lebih baik dibandingkan Indonesia yang masih mengandalkan kontrasepsi sederhana, seperti pil, kondom, dan suntik. Akibatnya, dalam 10 tahun terakhir, total fertility rate (TFR) masih stagnan sebesar 2,6 atau pasangan suami istri di Indonesia rata-rata memiliki hampir tiga anak.

Sugiri mengatakan, untuk memaksimalkan penggunaan alat kontrasepsi, Indonesia harus mempunyai lembaga riset yang kuat. "Kalau tidak, akan tertinggal karena selalu membeli hasil riset yang dihasilkan oleh negara maju,“ ungkapnya. (*)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau