Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/11/2013, 18:42 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis

Sumber FOX NEWS

KOMPAS.com — Tak ada yang aneh saat Jacqueline Koplean mengandung anak perempuannya yang bernama Rafaella. Namun dua pekan setelah melahirkan, Koplean dan suaminya harus menghadapi kenyataan bahwa sang buah hati menderita penyakit epidermolysis bullosa (EB).

Akibat penyakit ini, Rafipanggilan akrab Rafaellaseperti kehilangan kulit pada kedua kaki dan salah satu punggung tangannya. Enam jam setelah kelahiran, Rafi dibawa ke unit neonatal intensive care unit (NICU) di Roosevelt Hospital, Manhattan, akibat ruam dan lepuh yang diderita. Kondisi ini semakin parah keesokan harinya.

Rafi menghabiskan 35 hari di rumah sakit dan menjalani biopsi kulit. Hasilnya diketahui bahwa Rafi kekurangan protein kolagen 7, yang merupakan indikasi EB. EB adalah gangguan akibat kondisi genetik, hingga tubuh tidak bisa memproduksi cukup kolagen.

"Saya sangat kaget mengetahui kondisi ini. Kami tahu Rafi akan menjalani hidup yang sebentar dan menyakitkan. Kami tidak tahu sampai kapan dia hidup," kata ayah Rafi, Brett Koplean.

EB merupakan penyakit akibat tiga gangguan genetik, yang mengakibatkan mutasi gen penyusun protein kolagen 7. Penderitanya memiliki satu gejala penting, yaitu kulit sangat rapuh yang mengakibatkannya mudah luka atau melepuh.

Akibat mutasi ini, tubuh menghalangi produksi alami protein kolagen pada tubuh. Padahal, kolagen berperan penting untuk menyambungkan berbagai jaringan pada spesies mamalia.

"Kolagen berfungsi seperti lem. Dua lapisan utama pada kulit, yaitu dermis dan epidermis, dilekatkan dengan kolagen. Bila tidak memiliki kolagen, maka lapisan permukaan kulit akan menghilang. Kondisi inilah yang dialami anak dengan EB," kata dr Jakub Tolar, Direktur University of Minnesota Stem Cell Institute dan peneliti pada Department of Pediatrics di University of Manhattan.

Karena kulitnya yang rapuh, anak dengan EB kerap disebut kupu-kupu, yang merujuk pada rapuhnya sayap hewan cantik tersebut. EB hanya terjadi pada 1 dari 20.000 kelahiran anak. Tolar mengatakan, gejalanya bisa ringan hingga parah. Pada kondisi parah, kesulitan akibat EB terjadi tepat seusai kelahiran. Penderita EB akan menderita sakit dan tidak nyaman karena luka yang parah.

Selain sakit, luka tersebut juga gatal sehingga anak cenderung menggaruknya. Padahal, menggaruk akan mengakibatkan luka yang makin parah. Anak dengan EB harus dibungkus perban khusus yang diganti setiap hari.

Tidak hanya luar, penyakit EB juga memengaruhi kondisi dalam tubuh. "Anak dengan EB memiliki luka yang sama pada kulit di bagian atas esofagus. Oleh karenanya, mereka cenderung kehilangan lapisan yang menghubungkan mulut dan esofagus. Akibatnya, anak dengan EB tidak bisa makan dengan baik," kata Tolar.

Kondisi ini mengharuskan anak dengan EB menggunakan gastric tube sehingga bisa mengasup nutrisi dasar untuk tubuhnya. Anak dengan EB juga menderita kurang darah dan infeksi lain, akibat tidak bisa makan dengan baik.

Penderita EB yang bertahan hingga remaja biasanya menjadi pengguna kursi roda. Rapuhnya struktur tulang di bawah kulitnya menyebabkan mereka tidak bisa jalan. Ketika luka semakin parah, penderita EB berisiko menderita kanker kulit agresif.

Menghadapi kondisi ini, pasangan Koplean memutuskan tidak menyerah. Rafi kemudian menjalani operasi transplantasi sumsum tulang. Operasi ini akan dilakukan Tolar, yang pernah melakukan operasi ini sebulan sebelumnya.

Menurut Tolar, sumsum tulang mengandung stem cell atau sel punca yang memproduksi kolagen 7 pada penderita EB. Dengan melakukan transplantasi sumsum tulang, maka anak bisa menerima sel punca. Sel inilah yang kemudian memproduksi kolagen di kulit yang terluka.

Terapi ini telah dilakukan Tolar terhadap 24 anak dengan hasil yang baik. "Terapi ini tidak mengobati apa pun. Namun, hal itu mengubah kehidupan yang sulit menjadi lebih baik dan mudah," kata Tolar.

Saat ini di usia 6 tahun, Rafi sekolah seperti anak lainnya. Meski begitu, Rafi menjalani pemeriksaan dan perawatan setiap hari. Rafi juga membungkus tubuhnya dengan perban khusus setiap hari.

"Kami percaya Rafi menjalani hari yang lebih ringan, dan mungkin bisa meningkatkan harapan hidupnya. EB sendiri bukan bentuk gangguan yang stabil," kata Koplean.

Untuk menghimpun anak dan orangtua yang sama-sama menghadapi EB, Koplean ikut aktif dalam Dystrophic Epidermolysis Bullosa Research Association of America (DEBRA). Organisasi ini, kata Koplean, menyediakan bantuan fisik, emosi, dan keuangan dalam menghadapi EB. Menurutnya, DEBRA merupakan satu-satunya organisasi yang khusus menyediakan bantuan untuk EB.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com