Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/12/2013, 18:11 WIB
Wardah Fajri

Penulis

KOMPAS.com - Adalah tantangan bagi orangtua juga keluarga untuk merawat individu dengan gangguan sindrom autisma atau awam menyebutnya anak autis. Tantangan semakin besar pada kalangan menengah bawah, karena tak mudah membangun kesadaran kepada para orangtua yang memiliki berbagai keterbatasan, terutama ekonomi.

Faktanya, anak dengan gangguan sindrom autisma pada kalangan menengah bawah tak sedikit jumlahnya. Karena minimnya akses informasi, juga kesadaran termasuk kepedulian baik dari keluarga maupun lingkungan di sekitarnya, anak-anak kurang beruntung inipun telat mendapatkan perawatan, apalagi deteksi dini.

Rumah Autis menjawab tantangan ini. Memfasilitasi anak autis juga orangtua dari kalangan menengah bawah untuk lebih memahami kebutuhan anak berkebutuhan khusus ini.

Tantangan besar
Rumah Autis memberikan solusi kepada masyarakat menengah bawah untuk memenuhi kebutuhan terapi, sekolah, juga latihan keterampilan bagi penyandang autis. Juga memfasilitasi orangtua dari anak penyandang autis untuk lebih memahami kondisi anak dan menjalani terapi di rumah untuk memaksimalkan pemulihan anak penyandang autis.

"Di Rumah Autis saat ini ada 200 siswa. Dengan berbagai keterbatasan, kami tidak bisa menampung penambahan siswa, yang tiap tahunnya ada sekitar 100 anak penyandang autis," ungkap Mohamad Nelwansyah, Direktur Eksekutif Rumah Autis saat temu media di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Nelwan mengungkapkan, penyandang autisma terus mengalami peningkatan. Meski belum ada data pasti, berdasarkan data BPS 2005, diasumsikan setiap 150 anak terdapat satu anak autis. Di Indonesia, diperkirakan terdapat lebih dari 420.000 anak autis rentang usia 5-19.

Dari ribuan anak autis di Indonesia ini, di dalamnya terdapat anak dari kalangan menengah bawah yang terkendala pembiayaan untuk menjalani pemeriksaan hingga terapi.

Tak heran, banyak anak autis dari kalangan menengah bawah yang terlambat mendapatkan penanganan. Selain minimnya pemahaman orangtua mengenai autisma, biaya yang mahal untuk deteksi dini hingga terapi menjadi masalah besar.

"Rata-rata anak-anak ini terdeteksi autis di atas usia tujuh tahun," ungkap Nelwan.

Keterlambatan deteksi autisma dan penanganannya akan berdampak pada pemulihan. Semakin cepat austisma terdeteksi, pada masa balita misalnya, peluang anak untuk mencapai potensi optimalnya semakin tinggi, pemulihan pun lebih maksimal.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI) dan psikiater anak, Melly Budhiman, mengatakan keberhasilan terapi autisma 10-20 persen.

"Banyak yang tidak berhasil, karena terapi tergantung kondisi anak, apakah ia mengalami autisma berat atau tidak. Orangtua juga punya peran penting. Kebanyakan orangtua down, tapi ada juga yang bangkit, gigih dan konsisten menjalani terapi,"ungkapnya saat dihubungi Kompas Health beberapa waktu lalu.

Menurutnya, pada beberapa anak dengan gangguan sindrom autisma, pemulihan akan lebih sulit tercapai. Seperti anak yang sangat hiperaktif, IQ kurang, sulit bicara.  Anak bisa saja menjalani terapi tapi sulit untuk pulih.

Menurut Nelwan, penerimaan dan konsistensi orangtua ini jugalah yang menjadi tantangan besar di kalangan menengah bawah.

"Meningkatkan kesadaran orangtua menjadi tantangan tersendiri. Kami punya home program untuk orangtua. Namun tantangannya adalah mengingatkan orangtua untuk menjalankan program di rumah, itu sulit. Rehabilitasi berbasis keluarga tak mudah dilakukan," ungkapnya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau