Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/01/2014, 10:57 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis

KOMPAS.com - Penelitian mengungkapkan kelebihan berat badan atau overweight dan obesitas menjadi faktor risiko penting yang mengurangi fungsi paru-paru pada anak usia sekolah. Terutama pada anak yang punya sejarah nafas berbunyi.

"Sesuai hasil riset, kontrol berat badan penting bagi anak yang menderita bronchiolitis semasa kecilnya," kata Virpi Sidoroff yang memaparkan hasil riset dalam disertasinya di University of Eastern Finland. 

Bukti riset menunjukkan, anak dengan overweight menghadapi risiko asma yang semakin meningkat. Meski begitu hubungan antara asma, alergi, fungsi paru, dan obesitas belum jelas.

Dalam riset ini sebanyak 100 anak usia 1-23 bulan pada 1991-1992 berpartisipasi sebagai responden. Para responden pernah dirawat di rumah sakit karena nafas yang berbunyi. Selanjutnya, 14 anak menyusul dalam daftar responden.

Pada usia 4, 7, dan 12, para responden diharuskan datang teratur untuk mengikuti pemeriksaan medis, berat dan tinggi badan, tes kulit untuk alergi, serta latihan fisik untuk mengetahui hiperreaktivitas saluran nafas.

Saat responden berusia 12, data riset menunjukkan, 33 persen responden menderita overweight, 20 persen menderita obesitas, dan 38 persen menderita asma. Kesimpulannya adalah, overweight dan obesitas menjadi sebab penting pengurangan fungsi paru pada penderita asma. Meski begitu studi ini tidak menjelaskan hubungan antara asma dan overweight.

Obat hirup mengurangi kepadatan tulang
Selain peningkatan risiko asma, riset juga menunjukkan kelebihan berat badan berefek pada penurunan kepadatan mineral tulang. Terutama pada anak penderita asma yang semasa kecilnya menggunakan obat hirup corticosteroid.

"Kontrol yang sama juga harus dilakukan pada penggunaan obat hirup. Usahakan penggunaan dosis serendah mungkin namun tetap efektif mengontrol asma," kata Sidoroff.

Untuk membuktikannya, pemeriksaan para responden ditambah saat berusia 12 tahun. Pemeriksaan berupa pengukuran bone mineral density (BMD), dengan dual-energy x-ray absorptiometry (DXA) dan peripheral quantitative computed tomography (pQCT).

Selama dalam pemantauan, 73 anak menerima pengobatan dengan obat hirup. Akibatnya terdapat tumpukan obat hirup sebanyak 517 miligram. Tumpukan ini berhubungan dengan menurunnya kepadatan mineral tulang yang diukur dengan DXA atau pQCT.

Pemeriksaan DXA dilakukan pada tulang bawah dan cortical. Sementara dokumentasi kerapatan mineral pada tulang trabecular dilakukan pQCT dalam radius tertentu.

Hasilnya, kerapatan mineral tulang punggung dan volume mineral di tulang leher berkurang. Pengurangan ini terjadi pada penggunaan obat hirup berturut-turut sebelum berusia enam tahun.

Hal ini mengindikasikan, pengurangan kepadatan mineral tulang sudah terjadi pada anak yang menggunakan obat hirup sejak dini. "Karena itu gunakan obat hirup dalam dosis se-efektif mungkin. Dosis tinggi akan menyebabkan gejala makin parah," kata Sidoroff


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau