KOMPAS.com - Mengapa kita bermimpi? Pertanyaan inilah yang menjadi ilham dimulainya kedokteran tidur. Di akhir 1950-an William Dement, seorang psikiater muda, tertarik mempelajari mimpi dan mengikuti satu-satunya guru yang meneliti tentang tidur Nathaniel Kleitman.
Kleitman dan Aserinsky dikenal sebagai penemu tahapan tidur Rapid Eye Movements (REM) dimana kebanyakan mimpi berada. Selanjutnya Dement, yang kini dikenal sebagai Bapak Kedokteran Tidur, meneliti lebih jauh tentang tahapan tidur dan mimpi.
Pengetahuan Mimpi
Hingga kini, penelitian tentang mimpi masih terus berlangsung, tetapi para ahli masih belum bisa menjawab pertanyaan mendasar tentang mengapa kita bermimpi. Ada beberapa teori yang diajukan, tetapi kata sepakat belum juga bisa dicapai.
Penelitian tidur mimpi sebenarnya sederhana saja. Penemuan awalnya adalah lewat perekaman gelombang otak tidur dan gerakan bola mata. Ketika seseorang mencapai gelombang otak tertentu yang disertai dengan gerak cepat bola mata, orang tersebut dibangunkan lalu ditanya apa yang dia ingat. Demikian juga setelah lewat dan memasuki tahap tidur lain. Hasilnya saat masuk REM, seseorang ingat jelas tentang mimpi. Sedangkan ketika sudah lewat, ingatan mimpi akan semakin pudar.
Penelitian lainnya dengan sengaja mengurangi tidur REM seseorang dan melihat efeknya di siang hari. Beberapa penelitian membuktikan bagaimana kekurang tidur REM berefek langsung pada kemampuan kognitif dan stabilitas emosional manusia. Kemampuan belajar, konsentrasi, ketelitian dan kreativitas berhubungan langsung dengan tidur REM.
REM
William Dement menekankan pentingnya mimpi bagi manusia modern. Dement percaya bahwa tidur REM adalah yang terpenting karena menjaga kewarasan, dan menumbuhkan kemampuan otak. Kemampuan otak dan kebahagiaan adalah kunci utama kelangsungan hidup manusia masa kini.
Sedemikian pentingnya tidur REM, bayi yang baru lahir 50 persen tidurnya berada pada tahap tidur ini, sedangkan manusia dewasa hanya 20-25 persen saja. Pada bayi yang lahir prematur, kira-kira 80 persen gelombang otaknya menunjukkan frekuensi yang sama dengan gelombang otak REM.
Begitu juga saat kita kekurangan tidur, malam berikutnya tidur REM seolah ‘balas dendam’ dengan memperbanyak tidur mimpi. Bahkan ketika kita sedang dalam kondisi kurang tidur yang parah, begitu tertidur bisa terjadi campur aduk tidur mimpi dengan kondisi terjaga. Akibatnya kita setengah sadar namun setengah mimpi.
Tidur REM punya dua ciri khas, yaitu adanya mimpi, dan lumpuhnya tubuh yang disebut dengan sleep paralysis. Kelumpuhan dimaksudkan untuk melindungi kita agar tak bergerak-gerak mengikuti skenario mimpi.
Dalam kondisi setengah bermimpi dan setengah sadar, yang kita alami adalah halusinasi sosok lain di dekat kita. Sosok yang muncul berbeda pada setiap orang. Untuk orang Indonesia biasanya berupa sosok hantu yang menyeramkan. Kondisi diperparah oleh kelumpuhan tidur, yang membuat kita dalam ketakutan tak bisa bergerak untuk melarikan diri. Fenomena yang secara tradisional dikenal dengan sebutan ketindihan atau ereup-ereup ini sama sekali tak mematikan.
Tapi tak boleh diabaikan karena menunjukkan kondisi kurang tidur yang parah.
Kondisi kurang tidur yang parah menyimpan potensi berbahaya ketika berkendara atau mengoperasikan alat berat. Bukan hanya bahaya tertidur, tapi juga bahaya berkurangnya konsentrasi, kewaspadaan serta kemampuan refleks. Para ahli juga kini menyadari bagaimana kekurangan tidur menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan kadar gula dan tekanan darah serta risiko penyakit-penyakit jantung.
Mimpi
Beberapa orang beranggapan bahwa bermimpi membuatnya lelah dan tak dalam kualitas tidurnya. Ini salah! Pertama, saat tidur, pada tahap apa pun, tubuh dan otak kita selalu aktif. Gelombang otak berganti-ganti tahapan. Tubuh juga sibuk perbaiki diri. Kedua, yang membuat lelah bukanlah banyak mimpinya, tapi gangguan tidur yang dideritanya. Karena ingat, mimpi jadi intens saat kita kekurangan tidur.