Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/05/2014, 12:23 WIB
Kontributor Health, Dhorothea

Penulis


KOMPAS.com —
Saat itu tanggal 12 April 1945, dunia menanti akhir Perang Dunia II. Tiba-tiba Presiden AS Franklin D Roosevelt meninggal karena perdarahan di otak. Dokter pribadi Roosevelt mengatakan, perdarahan itu terjadi begitu saja tanpa tanda-tanda. Sebelumnya ia tampak sehat-sehat saja. Memang sejak 10 tahun sebelumnya Roosevelt sudah divonis kena hipertensi.

Para ahli masih memperdebatkan apakah hipertensi dan komplikasi gagal jantung memengaruhi keputusan Presiden AS itu selama Konferensi Yalta. Konferensi itu menentukan wajah Eropa setelah Perang Dunia Kedua. Eropa setelah perang terbagi menjadi blok barat dan timur. Konferensi itu terjadi hanya delapan pekan sebelum kematiannya.

Pemimpin Uni Soviet di masa Perang Dunia II Josef Stalin juga penderita hipertensi. Ia meninggal mendadak pada 1953 karena stroke. Wajah Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet tentu akan berbeda jika Stalin yang dikenal keras masih memimpin Uni Soviet saat krisis misil Kuba. Krisis yang terjadi tahun 1962 itu nyaris memicu konflik nuklir antara AS dan Uni Soviet.

Di zaman Roosevelt obat hipertensi masih belum maju. Tahun 1950-an obat-obatan hipertensi masih bersifat diuretik atau membuang kelebihan cairan tubuh lewat buang air kecil. Volume air yang menurun itu akhirnya akan menyebabkan tekanan darah jadi turun.

Perkembangan riset obat hipertensi pada dekade 60-an adalah alpha dan beta blocker. Inovasi ini bermanfaat melebarkan pembuluh darah sehingga tekanan darah dan denyut jantung menurun.
Tahun 70-an dikembangkan obat hipertensi CCB (calcium channel blocker).

Kemudian tahun 80-an dikembangkan obat ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor. Sayangnya, obat ini sering bikin batuk untuk orang-orang tertentu. Dilanjutkan pada tahun 90-an dikembangkan obat ARB (angiotensin receptor blocker).

Obat-obatan ACE inhibitor dan ARB aktif menurunkan tekanan darah dengan memblokir angiotensin II. Angiotensin II adalah protein yang dapat memengaruhi volume darah dan kontraksi pembuluh darah dalam sistem renin, sistem pengatur tekanan darah dalam tubuh.

“Angiotensin II ini berperan dalam perkembangan keparahan penyakit,” ujar Dr Melvin Tan, ahli jantung dari Mount Elizabeth Hospital, Singapura.

Hipertensi bandel perlu dikontrol obat. Dokter akan meresepkan obat hipertensi yang cocok untuk masing-masing pasien agar efektif mengontrol tekanan darah. Terkadang pasien enggan menjalankan terapi ini karena beranggapan obat hipertensi harus dikonsumsi seumur hidup.

“Sebenarnya terapi pengobatan hipertensi itu bukan seumur hidup, melainkan dalam jangka panjang. Pengobatan hipertensi itu bisa disesuaikan dengan kondisi pasien,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau