Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/06/2014, 09:48 WIB

DENPASAR, KOMPAS.com - Kondisi gizi anak-anak tak banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir. Belum tuntas masalah gizi kurang, persoalan gizi baru akibat modernisasi muncul. Jumlah anak-anak yang mengalami kegemukan dan obesitas terus meningkat.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementrian Kesehatan, jumlah anak yang memiliki berat badan dan tinggi badan normal di usia 6 bulan sampai 5 tahun hanya 48,6 persen. Sisanya, 5,7 persen kurus, dan 11,9 persen obesitas.

Kemudian pada kelompok umur 5-12 tahun, ada 11 persen anak yang kurus, dan 18 persen anak kegemukan. Pada tahap menjelang berakhirnya usia anak, yaitu remaja usia 16-18 tahun, jumlah remaja gemuk meningkat drastis dari 1,4 persen pada tahun 2010 menjadi 7,3 persen pada tahun 2013.

"Trennya konsisten pada tiap tahapan umur. Tak heran jika di kelompok orang dewasa hanya 36,8 persen yang berat badannya normal," kata Dr.Ahmad Suryawan, Sp.A, ahli tumbuh kembang di acara konferensi pers berkaitan dengan simposium FrieslandCampina Target 2020: Advance in Maternal and Child Health di Denpasar, Bali, Sabtu (14/6/14).

Menurut dokter Wawan, demikian ia lebih dikenal, anak kegemukan disebabkan karena berbagai faktor, mulai dari minimnya pemberian ASI setelah bayi berusia 3 bulan, pola makan yang salah, serta kurangnya aktivitas anak.

"Tetapi penyebab utama anak obesitas di Indonesia adalah mereka menjadi semakin jarang bergerak," kata dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini.

Hal tersebut senada dengan hasil temuan Flamingo Singapore. Preeti Varma, Project Director Cultural Intelligence, yang melakukan riset di beberapa negara di Asia Tenggara dan Hongkong serta China, mengungkapkan ada tren baru pola asuh anak di negara-negara ini.

"Secara umum para orangtua ingin menjadi bagian dari era modern. Sejak memiliki anak mereka berusaha mencari informasi tentang anaknya. Mereka pun menjadi lebih over protektif terhadap anaknya," ujar Preeti dalam acara yang sama.

Yang menarik, ketakutkan para orangtua terhadap polusi udara dan keamanan membuat mereka menyuruh anaknya bermain di dalam rumah.

"Anak-anak juga lebih banyak bermain dengan gadget-nya. Ini bertolak belakang dengan gaya hidup di negara Barat, sekarang ini penggunaan gadget dikurangi dan anak didorong untuk bermain di luar," katanya.

Ketidakpahaman orangtua juga membuat mereka menerapkan komerdenan dimaknai salah. "Mereka sangat peduli pada keamanan pangan tapi kurang perhatian pada kandungan lemak atau kalori dalam satu makanan. Di Myanmar misalnya, orangtua sengaja memberikan softdrink atau energy drink agar mereka lebih energik," paparnya.

Sementara itu, para orangtua di beberapa negara Asia masih menganggap anak yang gemuk dan tembam sebagai anak lucu. Banyak juga yang menganggap makan di restoran cepat saji adalah kegiatan untuk menyenangkan anak-anaknya.

Bergerak

Direktur FrieslandCampina Consumer Product Asia, Hendro H.Poedjono, mengungkapkan ingin berkontribusi terhadap peningkatan status gizi anak Indonesia. "Berbagai hal telah kami lakukan, mulai dari studi nutrisi komperhensif di wilayah Asia Tenggara yang hasilnya bisa digunakan sebagai landasan upaya untuk kebijakan berkaitan dengan gizi," katanya.

Kampanye lain yang juga sudah dilakukan adalah Drink Move Be Strong. "Kampanye ini mendorong bahwa pola makan yang baik, asupan gizi, dan olahraga rutin, akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak,' katanya.

Mengenai komposisi gula pada produk susu Frisian Flag, Hendro mengatakan bahwa populasi umum di Indonesia masih memerlukan asupan gula. "Di Indonesia agenda utamanya masih malnutrisi. Karena itu kami juga mendorong anak-anak perlu melakukan olahraga aktif," katanya.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau