Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/09/2014, 15:38 WIB

KOMPAS.com — Setelah bonus demografi berlalu tahun 2030, Indonesia diperkirakan menghadapi lonjakan penduduk usia lanjut. Itu berarti berbagai penyakit degeneratif, khususnya terkait otak, akan jadi ancaman besar bangsa. Jika tidak diantisipasi, kondisi itu akan membebani ekonomi Indonesia.

”Meningkatnya kesejahteraan masyarakat akan meningkatkan angka harapan hidup hingga jumlah lansia semakin banyak,” kata Guru Besar Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Teguh Asaad Suhatno Ranakusuma dalam ”Boenjamin Setiawan Distinguished Lecture: Meregenerasi Otak dengan Sel Punca”, di Jakarta, Sabtu (13/9).

Jika pada 2010 baru ada 18 juta penduduk berumur lebih dari 60 tahun, jumlahnya akan naik lebih dari dua kali lipat menjadi 41 juta pada 2030.

Seiring pertambahan usia, kata dosen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Fenny L Yudiarto, penyakit yang umum dialami lansia di dunia adalah kardiovaskular, seperti stroke dan serangan jantung, serta penyakit degeneratif, seperti parkinson, alzheimer, dan kanker.

Stroke, parkinson, dan alzheimer adalah sebagian penyakit otak. Demensia alias pikun dan penyakit-penyakit psikiatri yang berdampak pada otak, seperti depresi, juga akan kian mudah ditemukan. Seiring perubahan gaya hidup, berbagai penyakit otak itu kian banyak dialami anak muda.

”Selain faktor degeneratif, konsumsi alkohol, rokok, dan obat terlarang serta beban hidup yang memunculkan berbagai penyakit psikiatri akan membuat jumlah orang dengan penyakit otak banyak,” tutur pendiri Kalbe Group, Boenjamin Setiawan.

Persoalannya, ujar Boenjamin, banyak penyakit terkait otak belum ada obatnya. Penyakit otak itu menyebabkan disabilitas penderita yang berdampak besar pada biaya pengobatan ataupun rehabilitasi penderita. Di Amerika Serikat, pembiayaan untuk penyakit neurodegeneratif itu 35 persen total biaya pengobatan.

Namun, harapan pengobatan tetap ada, yaitu teknologi sel punca. Karena itu, potensi pengembangannya amat besar dan diprediksi menjadi tren pengobatan masa depan. Nyatanya, hambatan pengembangan teknologi ini di Indonesia sangat besar. Akibatnya, penelitian sel punca di Indonesia jauh tertinggal.

Menurut Boenjamin, sebagi ilmu relatif baru, Indonesia perlu mengikuti perkembangan teknologi sel punca agar tak kian tertinggal dari bangsa lain. ”Pemerintah perlu mendorong dan menyubsidi lembaga riset dan universitas dengan keunggulan bidang neurosains untuk berkembang, baik itu universitas negeri maupun swasta,” katanya.

Menurut Fenny yang banyak melakukan terapi sel punca terhadap penderita stroke, sel punca adalah peluru terakhir pengobatan stroke. Selama bisa diterapi dengan obat-obatan berbasis bukti yang sudah banyak tersedia dan mengikuti fisioterapi, potensi disabilitas akibat stroke dapat dikurangi. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau