JAKARTA, KOMPAS.com – Anak stunting atau anak yang bertubuh pendek lebih berisiko menderita penyakit tidak menular seperti jantung, kanker, dan diabetes. Anak stunting adalah mereka yang bertubuh pendek karena mengalami kekurangan gizi.
“Anak yang stunting bisa mengalami kegagalan motorik, lebih berisiko kena penyakit tidak menular,” ujar Direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan Dody Izwardy dalam diskusi di Jakarta, Jumat (23/1/2015).
Anak yang stunting lebih mudah sakit karena daya tahan tubuhnya rendah. Stunting mengganggu perkembangan fisik dan kemampuan kognitif anak.
Dody menjelaskan, anak stunting memiliki tinggi badan di bawah standar pada umur tertentu. Anak diduga stunting jika lahir dengan panjang di bawah 48 cm dan berat badannya rendah. Anak berisiko stunting jika sang ibu tidak cukup gizi saat hamil.
Menurut Dody, belum banyak masyarakat yang mengenal stunting. Angka stunting di Indonesia pun diperkirakan masih tinggi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi stunting nasional mencapai 37,2 persen. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yakni, 35,6 persen pada 2010. Indonesia pun menempati urutan kelima di dunia untuk jumlah anak stunting.
Direktur Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi Stunting (PKGBM) Milleium Challenge Account (MCA)- Indonesia, Minarto mengatakan, angka stunting menjadi parameter penting bagi kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan MCA Indonesia pada September-Oktober 2014, masih banyak keluarga yang belum menerapkan pola makan, pola asuh, dan sanitasi yang cukup untuk menunjang tumbuh kembang anak.
Hasil survei, 43 persen ibu hamil mengaku makan kurang dari 3 kali sehari dan 35 persen mengaku makan lebih sedikit pada trisimster pertama kehamilan karena mual. Selain itu 55 persen responden pun tidak memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama minimal 6 bulan.
Selain itu, 62 persen anak berusia 6-23 bulan juga hanya konsumsi satu sampai dua kelompok makanan saja seperti serealia dan sayuran. Sekitar 40 persen anak pun makan kurang dari tiga kali sehari.
“Itu karena tidak ada kebiasaan sarapan dan sang ibu memberi makanan hanya saat anak meminta,” ujar Minarto.