Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/04/2015, 16:00 WIB

Raden Adjeng Kartini meninggal lebih dari seabad silam, tepatnya pada 1904. Namun, hingga kini, aspirasi emansipasi perempuan yang dia perjuangkan masih relevan. Bahkan, meski dalam nuansa berbeda, sejatinya kita masih bergelut mengatasi berbagai masalah klasik yang merundung perempuan.

Simaklah kisah Lina Ertiana (20), warga Desa Tamanjaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten. Di tengah kegembiraan karena hamil dan bakal menimang anak pertama, dia mencemaskan persalinannya.

Maklum, Desa Tamanjaya yang berjarak sekitar 130 kilometer dari Serang, ibu kota Banten, minim infrastruktur. Apalagi, jalan dari rumah Lina menuju puskesmas terdekat, sejauh 20 kilometer, rusak parah. Jalan itu hanya berupa tanah bergelombang dan berbatu. Saat hujan, jalur itu penuh lumpur dan kubangan air.

Mempertimbangkan kondisi itu, Lina berencana melahirkan di rumah dengan bantuan bidan. "Kalau dipaksa pergi ke puskesmas, jangan-jangan malah (bayi) keluar di tengah jalan," ujarnya, Senin (20/4).

Akibat kondisi jalan rusak, hingga usia kehamilannya 7 bulan, perempuan itu belum pernah memeriksakan kesehatan diri dan janinnya ke puskesmas. Dia hanya diperiksa bidan yang datang ke rumah setiap bulan. "Paling, periksa perut. Kalau ada keluhan, dikasih obat. Kalau di puskesmas, lebih lengkap, ada USG," katanya.

Meski bisa menyebut USG, Lina tak tahu kepanjangannya, ultrasonography (yang berfungsi mengecek kondisi janin). Dia baru berencana ke puskesmas saat kehamilannya sudah 8 bulan. Semoga hari itu tidak hujan sehingga perjalanan ke puskesmas lebih lancar.

"Pelan-pelan saja," ujarnya. Selain masalah transportasi, Lina enggan melahirkan di puskesmas karena khawatir bakal memakan biaya besar.

Lina mewakili sekelumit gambaran banyak ibu hamil yang terhambat akses ke puskesmas di pelosok Pandeglang. Kepala Subbagian Tata Usaha (TU) Puskesmas Cadasari, Pandeglang, Yuli Sobari mengatakan, banyak ibu hamil tidak memeriksakan diri secara rutin. "Jika sakit parah, ibu baru mau ke puskesmas," ujarnya.

Situasi itu membuat Pandeglang punya catatan kematian ibu dan bayi yang tinggi. Kepala Subbagian TU Puskesmas Cimanuk, Pandeglang, Angga Iskandarwinata mengatakan, sebagian dari suami masih tak mengizinkan istrinya memeriksakan diri ke puskesmas. Istri justru diminta pergi ke pasar, kebun, atau sawah. "Ini pengaruh (kurangnya) pendidikan dan ekonomi," lanjutnya.

Di Kota Ambon, Maluku, situasinya lebih parah. Para ibu di Desa Ema, Kecamatan Leitimur Selatan, misalnya, tertekan saat hamil hingga melahirkan. Desa yang berjarak lebih kurang 10 kilometer dari Kota Ambon itu tak punya petugas medis. Bangunan puskesmas pembantu di daerah itu mubazir, tidak terawat. Untuk mencapai desa itu, butuh sekitar 40 menit melalui jalan menanjak yang hanya bisa dilalui sepeda motor.

Yona Leimena (29), seorang warga, mengisahkan, saat melahirkan anak pertama pada 2013, dirinya sangat lemah sehingga tak bisa dibawa ke rumah sakit di Ambon. Keluarga meminta bantuan bidan di desa tetangga. Namun, akibat kurang pengetahuan dan pengalaman, bidan itu melakukan kesalahan, bahkan bayinya nyaris meninggal.

"Waktu itu bidan datang hanya bawa gunting. Tali pusar anak saya diikat pakai benang jahit untuk pakaian," ucapnya.

Shutterstock Ilustrasi

Kematian ibu masih tinggi

Kisah di Pandeglang dan Ambon mungkin bisa menggambarkan masalah di balik angka kematian ibu (AKI) di Indonesia yang masih tinggi. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 mencatat, AKI di negeri ini 359 jiwa per 100.000 kelahiran hidup.

Sensus Penduduk 2010 mencatat, AKI 259 per 100.000 kelahiran hidup. Angka itu jauh dari target AKI 102 per 100.000 per kelahiran hidup dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) serta 118 per 100.000 kelahiran hidup dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014.

Direktur Kesehatan Ibu pada Kementerian Kesehatan Gita Maya Koemarasakti mengungkapkan, sebagian besar ibu meninggal saat melahirkan akibat perdarahan dan infeksi. Mereka terlambat dirujuk atau telat mencapai fasilitas kesehatan, dan tidak mendapat pertolongan medis. Banyak faktor yang memengaruhi, seperti masalah sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, infrastruktur, dan geografis.

Menurut peneliti kesehatan perempuan dan remaja dari Rutgers Indonesia, Nurul Agustina, belum ada perkembangan penting terkait kepedulian terhadap ibu hamil meski ada Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang mengatur hak atas keadilan layanan kesehatan bagi ibu hamil.

Mayoritas masyarakat masih menganggap, hamil merupakan hal yang alami, kematian ibu hamil dinilai wajar, bahkan ada kepercayaan perempuan yang meninggal saat melahirkan bakal masuk surga. Padahal, kehamilan merupakan proses kesehatan yang kompleks dan butuh perhatian.

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Aminuddin, mengingatkan, kehamilan bukan hanya isu yang eksklusif perempuan, melainkan juga laki-laki. Setiap anggota keluarga bertanggung jawab untuk memastikan keberlangsungan kehamilan, melahirkan, dan perawatan yang sehat.

Walhasil, tak cukup dirayakan dengan penampilan para gadis berkebaya dan bersanggul, Hari Kartini hendaknya mendorong kita untuk memperbaiki perlakuan terhadap perempuan, terutama saat hamil dan melahirkan. Janganlah kisah sedih Kartini yang meninggal empat hari setelah melahirkan anak satu- satunya terus berulang di negeri ini. (BAY/FRN/DNE/ADH/UTI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau