Artikel Lutfhie Hakim (Kompas, 13 Mei 2013) berjudul "Kewajiban Kerja Sama BPJS-Rumah Sakit Swasta" perlu diklarifikasi.
Dalam artikelnya, Lutfhie menyebutkan bahwa pernyataan Presiden bahwa rumah sakit harus dipaksa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan adalah salah. "Sepertinya Presiden kurang memperoleh informasi yang benar tentang bagaimana kerja sama rumah sakit swasta dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)," ujar Lutfhi.
Kebetulan penulis tahu persis ceritanya. Pernyataan Presiden bermula dari tanya jawab dengan buruh perkapalan saat penyerahan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Seorang penerima KIS mengeluh tentang pelayanan kesehatan. Ada temannya dalam keadaan gawat darurat ditolak rumah sakit (RS) swasta. Diduga latar belakangnya karena status pasien adalah peserta BPJS Kesehatan.
Tentu Presiden kaget. Respons spontan Presiden sangat jelas. Beliau menyatakan akan memberi sanksi bagi RS yang menolak pasien emergensi. Di sini, Presiden jelas tidak salah.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan: "Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Ayat (2) atau Pasal 85 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)...".
UU ini berlaku 2009. Sementara BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 2014. Ini artinya, jauh sebelum ada BPJS Kesehatan, RS wajib memberikan pertolongan pada pasien emergensi.
Agak aneh apabila kemudian dunia perumahsakitan, khususnya komunitas kedokteran, memberikan respons berlebihan. Terkesan ada "pemidanaan baru" di era BPJS Kesehatan. Mestinya, RS sangat diuntungkan. Sebelum ada BPJS Kesehatan, posisi RS lebih berat. Ada kewajiban melayani pasien emergensi, tetapi tak ada kepastian apakah pasien atau keluarganya mampu bayar atau tidak.
Kondisi ini cenderung menyebabkan sebelum pasien ditolong, diminta deposit sejumlah uang. Apabila uang tidak ada, pasien cenderung ditolak atau "dirujuk" ke RS lain. Ini berbahaya. Bisa saja saat dirujuk, nyawa pasien melayang di jalan.
Mengapa RS diuntungkan? Di dalam Perpres No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan disebutkan, "Pelayanan Fasilitas Kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan BPJS-K dibayar dengan penggantian biaya; dan biaya dimaksud ditagihkan langsung oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS-K setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.".
Memang, apa yang ditulis Luthfie tidak seluruhnya salah. Betul bahwa menurut Perpres Jaminan Kesehatan, ".Fasilitas Kesehatan milik swasta yang memenuhi persyaratan dapat menjalin kerja sama dengan BPJS-K.". Namun, di dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagai rujukan Perpres No 12/2013 tidak disebutkan istilah "dapat bekerja sama". Artinya, kosakata "dapat bekerja sama" ini adalah terminologi Perpres No 12/2013.
Presiden Jokowi memiliki kewenangan merevisi perpres ini, dari terminologi "dapat bekerja sama" menjadi "wajib bekerja sama". Sekali lagi, Presiden Jokowi tidak salah, kalau suatu saat mewajibkan RS bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Pernyataan Presiden juga menjadi bahasan di media sosial, khususnya oleh dokter yang merasa terusik dengan ancaman sanksi dimaksud. Penulis jadi teringat ucapan Profesor Sjamsu Hidayat, Guru Besar FK UI, yang pernah menyatakan: jadi dokter adalah pilihan, sebagaimana juga menjadi tentara sebagai pilihan. Artinya, risiko dalam tiap pekerjaan sesungguhnya sudah diketahui dari awal saat memilih profesi.
Risiko jadi tentara adalah peluru. Profesi lain juga begitu. Namun, sejauh mengerjakan semua itu secara profesional, risiko atas pekerjaan profesionalnya pasti akan terhindari.
Menolong pasien dalam keadaan emergensi bagian dari implementasi sumpah dan etika kedokteran. Selama mengerjakan dengan benar, berdasarkan standar profesi, tak perlu ada kekhawatiran atas pemidanaan dimaksud. Praktisi hukum tahu, praktik kedokteran tak dapat dituntut pada hasil akhir dari pekerjaan kedokteran, tetapi pada benar-tidaknya upaya yang dilakukan dokter.
Dengan demikian, tidak ada alasan dokter khawatir untuk menangani pasien gawat darurat. Jika semua prosedur dikerjakan dengan baik, dokter pasti akan terhindar dari delik pidana.
Berbeda dengan sanksi pidana yang dengan sengaja tidak mau menangani pasien emergensi. Selain melanggar UU, juga ketidak- mauan ini diyakini semangatnya tidak sejalan dengan tujuan seseorang saat memilih berprofesi menjadi dokter, yaitu to serve humanity; sebuah tujuan suci (noble obligation) sebagaimana yang tertulis dalam mukadimah Organisasi Kedokteran Dunia (World Medical Association).
FACHMI IDRIS Mantan Ketua Umum IDI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.