"Perkawinan usia dini memicu tingginya angka kematian ibu," kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sudibyo Alimoeso, Senin (5/10), di Jakarta.
Pernikahan usia dini termasuk faktor risiko kematian ibu. Risiko kematian ibu naik jika hamil di usia terlalu muda, jarak antarkehamilan terlalu rapat, jumlah anak terlalu banyak, dan hamil di usia terlalu tua.
Dari sisi kesehatan, organ reproduksi perempuan berusia di bawah 19 tahun belum matang sehingga menikah dan hamil di usia itu berisiko tinggi, seperti perdarahan. Di usia itu, pengetahuan kesehatan reproduksi remaja juga kurang.
Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, angka pernikahan usia dini (19 tahun ke bawah) 46,7 persen. Bahkan, perkawinan di kelompok umur 10-14 tahun hampir 5 persen.
Selain pendewasaan usia pernikahan, calon ibu juga harus berstatus gizi baik sejak remaja, bahkan anak-anak. Jika status gizi calon ibu kurang, kehamilan kurang gizi memicu anemia yang berdampak buruk pada janin. Pengetahuan gizi dan kesehatan reproduksi yang baik bisa diperoleh dari tenaga kesehatan dan sekolah.
Banyak sektor
Oleh karena itu, penyiapan ibu hamil mesti dilakukan melalui banyak sektor. Melalui wajib belajar 12 tahun, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa mendewasakan usia pernikahan. Penyiapan calon ibu juga dapat dilakukan Kementerian Agama saat memberikan pengajaran kepada calon pengantin. Adapun Kementerian Kesehatan menyiapkan tenaga kesehatan untuk melakukan edukasi.
Menurut Sudibyo, BKKBN selama ini mengedukasi guru Bimbingan Konseling dan konselor sebaya mulai dari SMP, SMA, hingga perguruan tinggi tentang kesehatan reproduksi.
Direktur Jenderal Bina Gizi serta Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes Anung Sugihantono menambahkan, angka kematian ibu sulit ditekan jika angka fertilitas total (TFR) stagnan 2,6 dan cakupan KB hanya 60 persen.
Sementara itu, Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi mengatakan, seiring masuknya Indonesia pada fase bonus demografi, jumlah warga usia produktif akan bertambah besar. Artinya, potensi pernikahan dini dan kehamilan kian besar. Jika tidak segera diatasi, penurunan angka kematian ibu melahirkan kian sulit dilakukan dan memberi tekanan besar bagi soal kependudukan Indonesia.
Pedesaan
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 menyebutkan, 12,8 persen perempuan usia 15-19 tahun sudah menikah. Pernikahan remaja terbanyak terjadi di pedesaan pada perempuan berstatus pendidikan rendah dan berasal dari keluarga berstatus ekonomi rendah.
Namun, pernikahan remaja di perkotaan, khususnya di daerah suburban, meningkat pesat. Dengan melebarnya wilayah perkotaan, peluang pernikahan dini di pinggir kota kian besar.
Ernawati (24), warga Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, misalnya, melahirkan pertama kali di usia 19 tahun. Kini, ia memiliki dua anak, hamil anak ketiga, dan tidak punya rencana punya berapa banyak anak. "Saya belum membahas soal itu dengan suami," ujarnya.
Di Puskesmas Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dalam sebulan, hampir 10 remaja berusia 15-19 tahun melahirkan. Pada 2014 ada kasus kematian remaja yang hamil karena eklampsia atau tekanan darah tinggi saat kontraksi. "Beberapa di antara mereka ialah anak SMP," kata Rusniarti, Bidan Koordinator Kamar Bersalin Puskesmas Parung.
Kehamilan usia muda juga memicu persoalan baru. Banyak ibu muda tidak paham dirinya hamil karena tidak punya pengetahuan reproduksi yang cukup. Ratna (20), warga Ciherang, Depok, Jawa Barat, menuturkan, saat hamil pertama di usia 17 tahun, ia minum obat nyeri dosis tinggi karena tidak tahu bahwa dirinya hamil sehingga keguguran.
(ADH/MZW/B07/B09/CHE/GER/BAY)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.