Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/11/2015, 15:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Pneumonia atau radang paru akut masih menjadi penyakit penyebab kematian anak balita kedua terbesar di Indonesia setelah diare. Sayangnya, belum semua fasilitas kesehatan di Indonesia menyediakan vaksin pneumonia yang berfungsi untuk mencegah infeksi.

Menurut Ketua Unit Kerja Koordinasi Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia Nastiti Kaswandani, pada temu media di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (6/11), pneumonia umumnya disebabkan bakteri Streptococcus pneumonia.

Namun, vaksin untuk mencegah infeksi bakteri itu belum tersedia menyeluruh hingga ke fasilitas kesehatan tingkat pertama ataupun puskesmas di Indonesia. Akibatnya, masyarakat yang membutuhkan vaksin itu harus mengeluarkan biaya lebih karena harganya mahal.

Padahal, imunisasi dasar lengkap menurunkan risiko pneumonia 49 persen. "Pneumonia jadi pembunuh anak balita yang terlupakan. Namun, pneumonia bisa dicegah dan diobati. Pemberian imunisasi dan air susu ibu secara eksklusif bisa menurunkan risiko pneumonia," ucapnya.

Meski demikian, vaksin Hib dalam imunisasi pentavelen DPT-HB-Hib masih dipakai untuk mencegah pneumonia.

Pneumonia atau radang paru akut kebanyakan disebabkan infeksi mikroorganisme, seperti bakteri dan virus. Infeksi itu menyebabkan kerusakan jaringan paru yang jadi tempat pertukaran oksigen. Akibatnya, pasokan oksigen dalam tubuh terganggu.

Gejala awal pneumonia antara lain, gelisah, frekuensi napas lebih cepat dari biasa. Gejala lainnya adalah tampak tarikan dinding dada bagian bawah, bibir ataupun mukosa lidah kebiruan.

Menurut penuturan Iis Juabedah (34), ibu dari penderita pneumonia, M Rizky Putra (10 bulan), di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Cipto Mangunkusumo Jakarta, sebelum didiagnosis menderita pneumonia, frekuensi napas Rizky cepat. "Kelihatan seperti ngos-ngosan, batuk, dan demam," ujarnya.

Faktor risiko

Nastiti memaparkan, malnutrisi atau kurang nutrisi, kurang mendapat air susu ibu secara eksklusif, dan imunisasi yang tak lengkap meningkatkan risiko terjadinya pneumonia. Faktor risiko lain adalah berat bayi lahir rendah, pajanan asap rokok, dan pencemaran udara.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, pneumonia jadi penyakit yang menyebabkan 23,8 persen bayi dan 15,5 persen anak berusia di bawah lima tahun (balita) meninggal. Angka itu di bawah diare yang menyebabkan 31,4 persen bayi dan 25,2 persen anak balita meninggal.

Tahun 2014, tercatat 600.682 kasus pneumonia anak balita dan 32.025 kasus atau 5,3 persen di antaranya merupakan pneumonia berat. Angka kematian karena pneumonia dalam setahun mencapai 19.000 orang atau 2-3 anak balita dalam satu jam.

Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Sigit Priohutomo memaparkan, belum tersedianya vaksin untuk pneumonia bukan karena keterbatasan anggaran. Akan tetapi, Kemenkes mengkaji efektivitas biaya pemberian vaksin itu di puskesmas.

Sigit menambahkan, Kemenkes berupaya meningkatkan jumlah temuan kasus pneumonia serta sosialisasi dan edukasi melalui berbagai media. Itu untuk mencapai target global, yakni menurunkan angka kematian pneumonia di bawah 3 per 1.000 anak balita. Saat ini angka kematian pneumonia di Indonesia masih 4 per 1.000 anak balita.

Sejumlah program yang dilakukan Kemenkes antara lain, menyusun pedoman tata laksana, pelatihan tenaga kesehatan, dan pelibatan masyarakat. Upaya lain adalah menggalakkan imunisasi, perbaikan gizi, dan mendorong pemberian ASI eksklusif. (ADH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com