Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/01/2016, 11:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Virus Zika dipastikan telah ditemukan di Indonesia pada 2015. Penyebaran virus itu melalui nyamuk Aedes aegypti dan gejalanya mirip demam berdarah, yang membuat keberadaannya tidak dikenali secara spesifik. Virus itu bisa meluas, terutama di daerah-daerah endemis demam berdarah.

 Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pertama kali menemukan ada virus Zika di Indonesia. ”Awalnya ada wabah dengue (demam berdarah) di Jambi pada Desember 2014-April 2015. Kami diminta memeriksa 103 sampel darah pasien yang diduga kena dengue itu,” kata Deputi Direktur Eijkman Herawati Sudoyo di Jakarta, Jumat (29/1).

”Ada satu sampel yang setelah diteliti tak ada indikasi dengue. Setelah dikaji lebih jauh, ditemukan virus Zika dalam sampel pasien itu,” ujarnya.

Peneliti Emerging Virus Research Unit Lembaga Eijkman, Frilasita Yudhaputri, mengatakan, berdasarkan riwayat perjalanan pasien, ia tak pernah ke luar negeri atau daerah lain. Jadi, disimpulkan, virus Zika telah berkembang di Jambi, tetapi tak terdeteksi karena penderita dianggap kena dengue.

”Begitu ada temuan, kami melaporkannya ke Kementerian Kesehatan melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada September 2015. Kami juga publikasikan temuan itu di jurnal internasional,” ucapnya.

Penemuan virus Zika di Jambi itu ibarat fenomena puncak gunung es karena kemungkinan menyebar luas, tetapi warga yang terinfeksi dianggap kena demam berdarah dengue (DBD). Menurut Herawati, gejala penyakit akibat virus Zika ialah panas, sakit persendian, sedikit ruam-ruam, dan radang di selaput mata. ”Penyakit ini langsung hilang, tak perlu diobati,” katanya.

Herawati mengungkapkan, ada temuan di Brasil tentang kaitan serangan Zika dengan kelainan janin. Ibu hamil yang terinfeksi virus Zika cenderung melahirkan bayi yang mengalami mikrosefalus, kelainan otak dengan ukuran kepala lebih kecil daripada ukuran rata-rata.

Strain virus

Frilasita Yudhaputri mengatakan, virus Zika yang dapat diisolasi dari pasien lelaki berusia 27 tahun di Jambi punya strain sama dengan yang ditemukan di negara lain di Asia, seperti Thailand. Virus Zika di Brasil yang diduga memicu kelainan perkembangan janin memiliki strain berbeda dengan di Asia.

Namun, menurut Herawati, karakteristik virus ialah cepat bermutasi. Karena itu, kemungkinan terburuk dampak virus Zika pada kelainan janin di Indonesia perlu diantisipasi. Ia menyarankan, ada survei dan pemeriksaan lebih intensif agar keberadaan virus terdeteksi daerah penyebarannya.

Untuk mengatasinya, menurut Herawati, jalan terbaik ialah memutus siklus vektornya, yakni nyamuk Aedes aegypti yang juga menyebarkan DBD. Masalahnya, DBD pun belum teratasi.

Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Oscar Primadi, kemarin, meminta masyarakat agar tak panik terhadap merebaknya virus Zika di luar negeri. Sebab, penularan penyakit Zika amat mirip dengan DBD yang biasa dihadapi Indonesia tiap tahun. ”Kuncinya sama dengan DBD, yakni pemberantasan sarang nyamuk,” ucapnya.

Di sisi lain, kepastian informasi virus Zika terkait microcephaly atau kepala mengecil pada bayi baru lahir masih diteliti. Kemenkes menunggu laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Mewakili Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes M Subuh, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu menyatakan, warga diimbau agar mewaspadai penyebaran jentik nyamuk Aedes aegypti dan memberantas sarang nyamuk. Itu bisa mencegah penularan DBD dan virus Zika. Warga juga diminta tak bepergian ke negara-negara yang terkena wabah virus Zika.

Cara membedakan virus Zika dari dengue adalah uji laboratorium. Di Indonesia, dua lembaga memiliki laboratorium untuk mengujinya, yakni Lembaga Eijkman serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes, karena dilengkapi laboratorium dengan level keamanan biologi 3+.

Halaman:
Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com