KOMPAS.com - Penyakit ginjal kronis kerap disebut sebagai the silent killer. Sering kali penderita tidak merasakan gejala tertentu hingga penyakit sudah memasuki stadium lanjut dan fungsi ginjal telah menurun.
“Penyakit ini baru diketahui orang umumnya ketika sudah mencapai stadium tiga sampai empat. Pasien heran saat disuruh cuci darah karena tidak tahu sudah terkena penyakit ginjal sebelumnya,” ujar Guru Besar Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Parlindungan Siregar, seperti dikutip Kompas.com, Jumat (13/3/2015).
Keterlambatan deteksi dan penanganan penyakit tersebut menyebabkan prevalensi kematian akibat ginjal kronis di beberapa negara cukup tinggi. Data dari US Centers for Disesase Control and Prevention menunjukkan, sekitar 25 juta orang atau 10 persen penduduk Amerika Serikat menderita penyakit ginjal kronis. Lebih dari 48.000 penderita meninggal setiap tahunnya.
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit ginjal kronis juga cukup banyak. Menurut riset Kementerian Kesehatan pada 2013, prevalensi ginjal kronis nasional mencapai 0,2 persen. Artinya, setiap 10.000 orang penduduk Indonesia ada 2 penderita penyakit ini.
Lebih lanjut, data World Health Organizations (WHO) pada 2014 menyebutkan kematian akibat penyakit ginjal kronis di Indonesia mencapai 2,93 persen populasi atau sekitar 41.000 orang.
Mengenali penyebab dan pemicu
Mengingat bahayanya penyakit tersebut, faktor-faktor pemicu ginjal kronis sebaiknya diketahui oleh masyarakat agar pencegahan dapat dilakukan. Kebiasaan buruk sehari-hari tanpa kita sadari bisa menjadi salah satu faktor pemicu ginjal kronis, misalnya kurang minum.
Dilansir dari situs web prodia.co.id, Kamis (5/3/2015), kurang minum dapat mengakibatkan tubuh rawan terkena infeksi saluran kemih. Lambat laun, infeksi saluran kemih bisa berkembang menjadi infeksi ginjal.
Selain itu, kebiasaan mengonsumsi makanan dengan zat kimia—seperti bahan pewarna, pengawaet, dan penyedap rasa—juga berbahaya bagi ginjal. Zat-zat kimia tersebut bisa mengendap di ginjal hingga ujung-ujungnya fungsi organ menurun.
Namun, faktor yang paling sering memicu penyebab ginjal kronis adalah diabetes melitus dan hipertensi. Faktor berikutnya barulah batu di saluran kemih yang disertai dengan infeksi ginjal atau infeksi saluran kemih.
“Jumlah pasien (ginjal kronis) yang menjalani cuci darah akibat hipertensi dan diabetes mencapai 60 persen,” ucap Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), Dhameizar, seperti dikutip Kompas.com, Jumat (13/3/2015).
Fakta serupa juga dikatakan oleh Kepala Tenaga Medis National Kidney Foundation, Joseph Vassalotti. Dia menyebutkan, dua pertiga dari kasus ginjal kronis disebabkan oleh diabetes melitus dan hipertensi.
“Kondisi kedua penyakit tersebut dapat merusak pembuluh darah kecil di ginjal. Akibatnya, kemampuan organ untuk menyaring ‘limbah’ metabolisme dari darah berkurang,” kata Vassalotti, seperti dikutip livescience.com, Senin (9/3/2015).
Deteksi dini
Dengan paparan di atas, pengobatan yang tepat untuk diabetes melitus dan hipertensi akan meminimalkan risiko gagal ginjal. Selain itu, deteksi dini juga tak ada salahnya dilakukan, sekalipun belum ada gejala gangguan ginjal sama sekali.
Di antara gejala yang perlu diwaspadai sebagai penanda awal gangguan ginjal adalah cepat lelah, nafsu makan menurun, sulit tidur, sering ingin buang air kecil pada malam hari, dan pembengkakan kaki.
Pemeriksaan dini yang bisa ditempuh adalah melalui tes Cystatin C darah di laboratorium. Nilai laju filtrasi glomerulus (FLG) akan diukur di tes ini, dengan menghitung jumlah darah yang disaring glomerulus—bagian ginjal yang berfungsi sebagai penyaring.
Deteksi dini penyakit ginjal kronis juga bisa dilakukan di laboratorium dengan pemeriksaan albumine urine kuantitatif. Tahap paling awal untuk risiko nefropati diabeti—istilah medis untuk penyakit ginjal serius, termasuk dari komplikasi diabetes dan hipertensi—ditandai dengan mikroalbuminuria, yaitu ditemukannya sejumlah kecil protein albumin di dalam urine.
Urine yang diambil sewaktu juga bisa menjadi alternatif, tetapi hasil pemeriksaan harus dibandingkan dengan nilai kreatinin— “limbah” kimia dalam darah yang disaring oleh ginjal dan dibuang ke dalam urine.
Hasil pemeriksaan albumine urine kuantitatif dikatakan normal apabila urin yang ditampung selama 24 jam (mg/24 jam) kurang dari 30, urin ditampung dalam waktu tertentu (mg/menit) < 20, dan urin diambil sewaktu (mg/mg kreatinin) kurang dari 30.
Tes tersebut sebaiknya dilakukan pada masa pubertas atau lima tahun setelah seseorang mendapat diagnosis menderita diabetes melitus tipe satu. Sementara itu, penyandang diabetes melitus tipe dua sebaiknya melakukan pemeriksaan awal segera setelah mendapat didiagnosis, kemudian rutin mengecek urine setahun sekali atau sesuai petunjuk dokter.
Seperti kata pepatah, selalu lebih baik menyiapkan payung sebelum hujan, mencegah sebelum kejadian, memeriksa diri sedini mungkin sebelum sakit tiba. Waspadalah!