KOMPAS.com - Pengeluaran untuk membeli rokok masyarakat Indonesia ternyata cukup besar, setara dengan pengeluaran untuk belanja bahan pangan.
Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan, ada 48,4 juta perokok yang rata-rata menghabiskan 12 batang rokok tiap hari. Mereka mengeluarkan total Rp 605 miliar untuk membeli rokok tiap hari. Jadi, pada 2013, perokok Indonesia mengeluarkan Rp 221 triliun hanya untuk rokok.
Survei Sosial Ekonomi Nasional 2016 menempatkan rokok sebagai pengeluaran per kapita terbesar ketiga untuk kelompok makanan di bawah pengeluaran untuk makanan-minuman jadi dan padi-padian.
Pengeluaran terbesar masyarakat Indonesia adalah untuk makanan dan minuman jadi sebesar 29 persen, pengeluaran untuk padi-padian 14 persen, dan di urutan ketiga pengeluaran rokok 13,8 persen.
Seperti dikutip dari Harian Kompas (7/3/2017), peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, mengatakan, uang keluarga miskin untuk membeli rokok itu sebenarnya bisa dipakai untuk membeli hal-hal yang lebih bermanfaat. Contohnya, menambah kalori dan makanan bergizi, khususnya bagi yang punya anak berusia di bawah lima tahun dan meningkatkan mutu pendidikan bagi diri dan keluarganya.
”Mereka yang bekerja di luar ruang dan sektor informal memiliki waktu merokok lebih banyak,” ujarnya.
Jika sakit, para perokok miskin akan menghadapi beban berlipat. Saat sakit, mereka tak mendapat penghasilan karena tak bekerja. Jika tak memiliki asuransi kesehatan komersial atau belum tercakup program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), tabungannya akan terkuras untuk berobat atau justru berutang. Jika meninggal dunia, utang itu akan diwariskan ke keluarganya.
Perangkap kemiskinan akibat rokok itu sudah berlangsung puluhan tahun. Program pemerintah untuk mengurangi kemiskinan melalui KIP, JKN-KIS, ataupun program Keluarga Harapan pun akan kurang efektif jika keluarga penerima tetap merokok.
”Rokok memperparah kemiskinan dan memperlebar kesenjangan ekonomi,” katanya.
Ahli ekonomi UI, Faisal Basri, menambahkan, jumlah perokok yang besar berkontribusi pada rendahnya produktivitas pekerja Indonesia, baik akibat penyakit yang ditimbulkannya maupun buruknya kualitas manusia akibat rendahnya asupan gizi.
Rendahnya produktivitas itu menyumbang lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan negara lain yang juga merdeka pada 1940-1950.
Pemerintah memang berusaha meningkatkan mutu manusia Indonesia melalui pendidikan. Pemerintah berharap kualitas manusia yang membaik itu membuat puncak bonus demografi pada 2020-2040 dapat termanfaatkan, tidak menjadi bencana demografi. ”Namun, secara sadar, pemerintah membiarkan perusakan generasi muda melalui rokok. Itu ironis,” ujarnya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Maret 2017, di halaman 1 dengan judul "Rokok Perparah Kemiskinan".