KOMPAS.com - Pesatnya kemajuan di bidang teknologi kedokteran salah satunya dapat ditunjukkan dengan temuan bahwa sinar ultraviolet (UV) berkontribusi signifikan terhadap kerusakan kulit.
Ada beberapa masalah kesehatan kulit yang mungkin timbul akibat paparan sinar UV termasuk dari pancaran matahari, di antaranya yakni:
Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, salah satu cara yang bisa dilakukan yakni dengan memanfaatkan sunscreen atau tabir surya.
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Dr. dr. Prasetyadi Mawardi, Sp.KK (K), menerangkan tabir surya memiliki mekanisme kerja dengan mencegah dan meminimalkan efek negatif dari sinar UV setelah terpapar matahari.
"Pemakaian tabir surya telah terbukti meningkatkan toleransi dan pertahanan kulit terhadap paparan sinar UV," jelas Pras saat diwawancarai Kompas.com, Selasa (4/2/2020).
Jenis sunscreen
Dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo tersebut menjelaskan, tabir surya pada umumnya dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni tabir surya organik dan tabir surya anorganik.
Berikut perbedaannya:
1. Tabir surya organik
Tabir surya organik kadang-kadang disebut sebagai tabir surya kimiawi.
Pras menerangkan, tabir surya jenis ini memiliki mekanisme perlindungan berupa penyerapan energi UV dengan mengubahnya menjadi energi panas sehingga mengurangi efek berbahaya dan mengurangi kedalaman yang dapat menembus kulit.
2. Tabir surya anorganik
Tabir surya anorganik kadang-kadang disebut sebagai tabir surya fisik.
Mekanisme kerja tabir surya ini melalui dua tahap, yaitu lewat pancaran dan pantulan energi UV dari permukaan kulit.
"Tabir surya ini membuat lapisan yang dapat menghalangi sinar matahari menembus kulit," terang Wakil Ketua Bidang II (Pendidikan dan Profesi) Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (PERDOSKI) Indonesia itu.
Tak boleh asal pilih sunscreen
Sementara itu, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) FK UNS saat diwawancara Kompas.com di Klinik Hastiti RSUD dr. Moewardi bersama Pras, dr. Adniana, menegaskan pemilihan tabir surya tak boleh dilakukan secara asal.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui seseorang saat ingin memakai sunscreen.
Adniana menerangkan formulasi tabir surya melibatkan empat tahapan penting, berikut pertimbangannya:
"Sunscreen memiliki karakteristik unik karena bersifat individual. Ini pentingnya konsultasi pada dokter spesialis kulit dan kelamin lebih dulu sebelum menggunakan bahan ini," ujar Adniana.
Adniana menjelaskan formulasi yang baik pada sediaan tabir surya adalah produk yang bisa membentuk film secara kontinyu pada lapisan kulit.
Penetrasi bahan organik ke dalam kulit jelas harus diminimalkan. Tabir surya organik biasanya diformulasikan sebagai lotion dan salep ringan. Pada aplikasinya, sunscreen ini akan membentuk film tipis pada permukaan kulit yang memberi perlindungan terhadap paparan UV.
Suncreen yang direkomendasikan
Dalam memilih tabir surya, siapa saja kiranya perlu mempertimbangkan nilai sun protection factor (SPF).
SPF dalam sebuah produk pelindung matahari akan memberi tahu sebaik apa produk tersebut dalam melindungi kulit dari sengatan matahari.
Angka SPF adalah penentu seberapa lama seseorang diprediksi dapat berada di bawah sinar matahari tanpa terbakar selama memakai produk yang mengandung sunscreen itu.
Adniana menjelaskan SPF mengacu pada kemampuan tabir surya untuk mencegah perkembangan eritema setelah terpapar radiasi UV.
Nilai SPF sebagian besar ditentukan dengan menggunakan pendekatan in vivo, tetapi juga bisa menggunakan metode spektrofotometri in vitro serta metode silico yang menggunakan model komputer.
"Kemampuan dan besaran nilai SPF inilah yang sering dijadikan modal promosi produk-produk kosmetika yang mengandung tabir surya," kata Adniana
Selain SPF, ada istilah faktor perlindungan imun (IPF) yang mengacu pada kemampuan produk tabir surya untuk mencegah imunosupresi imbas UV.
IPF dapat dinilai dengan metode kompleks seperti kemampuan tabir surya untuk menghambat kepekaan (elisitasi kontak) atau reaksi hipersensitivitas tipe tertunda terhadap alergen seperti dinitroklorobenzena (DNCB) dan nikel.
IPF dianggap berkorelasi lebih baik dengan perlindungan UV-A (Aging atau penuaan) dibandingkan dengan SPF dari tabir surya.
Baik Adniana maupun Pras menilai, sebenarnya lebih penting mempertimbangkan nilai IPF daripada nilai SPF ketika memilih tabir surya.
Namun, American Academy of Dermatology merekomendasikan penggunaan tabir surya berspektrum luas (broadspectrum) yang dapat memproteksi kulit terhadap radiasi sinar matahari, baik yang berupa UV-A maupun UV-B (Burning atau pembakaran).
Dengan kata lain, Pras menjelaskan, bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah tropis, direkomendasikan menggunakan tabir surya yang memiliki potensi sekurang-kurangnya 30 SPF.
Nilai SPF tersebut lebih menggambarkan pada kemampuan tabir surya untuk melindungi paparan UV-B.
Sedangkan potensi kemampuan tabir surya untuk melindungi kulit dari paparan UV-A, ditentukan oleh Persisten Pigment Darkening (PPD) yang terdapat dalam suatu tabir surya tersebut.
Menurut Pras, kemampuan tabir surya idealnya memiliki ratio SPF dan UV-A Protection sebesar 3 : 1. Sebagai contoh, ada sunscreen yang diklaim memiliki potensi 30 SPF dan kemampuan proteksi UV-A sekurang-kurangnya 10 UV-A Protection.
https://health.kompas.com/read/2020/02/04/120100868/jangan-asal-pilih-sunscreen-ini-rekomendasi-dokter-spesialis-kulit