Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

3 Teori untuk Mengungkap Dampak Buruk Film Kekerasan pada Anak-Anak

KOMPAS.com – Beberapa teori dapat memberikan pemahaman atas apa yang sebenarnya terjadi dalam diri anak-anak yang menyaksikan film atau tayangan kekerasan.

Sejumlah teori tersebut juga bisa dipahami untuk mengungkapkan sejauh mana gambar-gambar dalam tayangan kekerasan dapat memengaruhi pola pikir, pola rasa, dan pola tingkah laku seorang anak.

Beberapa terori yang bisa digunakan untuk mendedah hal tersebut, di antaranya yakni:

  1. Teori modeling dari Albert Bandura
  2. Teori Ekologi dari Brifenbrenner
  3. Teori identifikasi seperti yang dikemukakan Sigmund Freud

Berikut penjelasannya:

1. Teori modeling dari Albert Bandura

Bandura mengungkapkan, proses belajar pada seorang anak terjadi melalui peniruan (imitation) terhadap perilaku orang lain yang dilihat atau diobservasi.

Anak mulanya melihat perilaku orang lain dan kemudian mengadopsi perilaku tersebut.

Untuk membuktikan teori tersebut, Albert Bandura, Dorothea Ross, dan Sheila A. Ross melakukan percobaan yang dikenal dengan Bobo doll experiment.

Penelitian tersebut dilaksanakan pada tahun 1961 dan 1963 untuk mengamati perilaku imiatasi atau meniru pada anak-anak terhadap perilaku agresif.

Bobo doll adalah nama sebuah boneka yang apabila dipukul akan berdiri lagi karena pada titik gravitasinya diberi cairan.

Pada tahun 1961, Bandura, dkk. telah membuat laporan eksperimennya dengan judul Transmission of Aggression Through Imitation of Aggressive Models.

Dalam eksperimen tersebut, Bandura dkk. menggunakan subjek 36 anak laki-laki dan 36 anak perempuan yang terdaftar dalam Standford University Nursery School.

Subjek memiliki umur antara 37 sampai 69 bulan, dengan rata-rata berumur 52 bulan. Eksperimen juga dilakukan dengan melibatkan 2 (dua) orang dewasa, satu laki-laki dan satu perempuan, yang akan berperan sebagai model terhadap anak-anak.

Subjek kemudian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen berjumlah 48 anak dan kelompok kontrol berjumlah 24 anak.

Kelompok eksperimen lantas dibagi lagi menjadi 8 kelompok kecil yang terdiri dari 6 anak.

Setelah dibagi, kelompok eksperimen diberikan perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan apapun.

Setengah kelompok eksperimen diberikan perlakuan dengan model yang bertindak agresif. Setengahnya lagi diberikan yang tidak agresif.

Desain eksperimen dilakukan dengan cara membawa satu per satu anak dan seorang model dalam sebuah ruangan eksperimen.

Sang anak ditempatkan di sebuah meja kecil dan diberikan permainan yang menarik untuknya di sudut ruangan.

Sementara, model diminta berada di sudut lain ruangan yang telah terdapat beberapa peralatan seperti palu, boneka Bobo dan mainan rakitan.

Subjek dan model dibiarkan berdua dalam ruangan dalam kurun waktu 10 menit.

Pada perlakuan model agresif, model akan merakit mainan selama semenit. Selanjutnya model mulai menunjukkan perilaku agresif seperti meninju, menduduki, membanting, memukul dengan palu, dan menabrak boneka Bobo.

Selain itu model juga mengucapkan ucapan agresif seperti pukul dia di hidung, banting dia, lemparkan ke udara, tendang dia, dan sebagainya. Tindakan tersebut dilakukan model sampai kurun waktu 10 menit berakhir.

Pada perlakuan model nonagresif, model hanya merakit mainan selama 10 menit dan tidak melakukan apapun kepada boneka Bobo.

Setelah perlakuan selesai, anak-anak dibawa ke dalam ruangan bermain yang didesain mirip dengan bangunan sekolahnya.

Subjek dan peneliti bersama-sama berada di ruangan tersebut. Subjek lantas diberi mainan menarik seperti truk, boneka, dan gasing.

Setelah 2 menit, peneliti akan melarang subjek untuk memainkan mainan itu dengan tujuan menimbulkan emosi frustas pada anak. Namun, peneliti memperbolehkan subjek untuk bermain di ruang eksperimen yang berisi boneka Bobo dan palu.

Selanjutnya, selama 20 menit peneliti akan membiarkan subjek bermain di ruang eksperimen dan mencatat perilaku sang anak.

Penelitian tersebut menemukan bahwa anak yang terpapar atau diperlihatkan perilaku agresif dari model, nyatanya memberikan respons tindakan yang agresif pula.

Subjek yang diperlihatkan perilaku agresif akan bertindak lebih agresif dibandingkan dengan subjek yang tidak diperlihatkan.

Tindakan agresif yang ditiru oleh subjek, yakni fisik dan juga verbal.

Perilaku meniru tindakan agresif juga dipengaruhi jenis kelamin model dan subjeknya.

Subjek laki-laki yang telah diperlihatkan tindakan agresif model laki-laki lebih banyak menunjukkan tindakan agresif dibanding subjek perempuan yang telah diperlihatkan tindakan agresif model laki-laki.

Jadi, sudah dapat dibayangkan kan bagaiaman pengaruh buruk atas tayangan-tayangan kekerasan yang disaksikan oleh anak-anak terhadap perilaku mereka nantinya?

Perilaku-perilaku model yang dimunculkan dalam film maupun tayangan video seperti agresif, tidak menghargai orang lain, gampang menembak atau memembunuh orang lain jelas dapat menjadi model yang akan diendapkan anak dalam cognitive form mereka yang sewaktu-waktu bisa dimunculkan.

2. Teori ekologi Bronfenbrenner

Melansir buku Bungai Rampai Psikologi Perkembanga Dari Anak Sampai Usia Lanjut (2004) yang disunting Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa, sejalan dengan teori modeling yang dikemukakan Albert Bandura, Urie Bronfenbrenner (1979) mengungkapkan bahwa lingkungan sosiokultural sangat memengaruhi perkembangan seseorang.

Menurut Bronfenbrenner, ada lima sistem lingkungan yang memengaruhi individu, yakni:

  • Mikrosistem
  • Mesosistem
  • Ekosistem
  • Makrosistem
  • Kronosistem

Teori ekologi Bronfenbrenner menegaskan bahwa pengaruh lingkungan sangat berperan terhadap perkembangan kepribadian seorang anak.

Lingkungan mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat memainkan peranan penting bagi mereka.

Setting lingkungan makrosistem dalam bentuk tayangan-tayangan kekerasan pada film maupun televisi, termasuk liputan kekerasan, dianggap berpengaruh pada keseluruhan proses pembentukan pola pikir, pola rasa, dan pola tingkah laku anak-anak.

3. Teori psikoanalisis

Sigmund Freud sangat menekankan akan pentingnya masa kanak-kanak dalam perkembangan kepribadian seseorang.

Freud mengunkapkan, lima tahun awal adalah masa terbentuknya struktur watak dasar setiap kepirbadian.

Sedangkan perkembangan selanjutnya sebagian besar hanya merupakan elaborasi terhadap struktur dasar tersebut.

Menurut Freud, proses pembentukan kepribadian seorang anak tidak lepas dari proses belajar, yakni proses identifikasi yang dilakukan secara spontan terhadap kedua orang tuanya dan tokoh-tokoh lain yang signifikan.

Identifikasi ini bisa dipahami sebagai proses yang lebih dalam daripada hanya sekadar meniru (imitasi).

Freud berpendapat, imitasi itu hanya merupakan peniruan secara dangkal dan sementara. Sementara dalam identifikasi, terjadi suatu proses pemerolehan yang kurang lebih bersifat permanen pada kepribadian.

Perlu menjadi perhatian adalah selain orangtua, seorang anak dapat juga melakukan identifikasi dengan tokoh-tokoh lain, seperti tokoh-tokoh dalam film yang tak selamanya baik.

Setiap anak cenderung mempunyai tokoh-tokoh identifikasinya sendiri yang khas. Tentu saja, proses identifikasi itu dapat berlangsung secara spontan, begitu saja, dan umunya secara tidak sadar.

Dalam konteks teori Sigmund Freud, tayangan dengan adegan kekerasan sudah jelas dapat memberikan pengaruh negatif pada proses dentifikasi seorang anak.

https://health.kompas.com/read/2020/03/09/140200468/3-teori-untuk-mengungkap-dampak-buruk-film-kekerasan-pada-anak-anak

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke