KOMPAS.com – Saat mengalami cedera di anggota gerak tubuh saat berolahraga maupun menjalankan aktivitas lainnya, banyak orang mungkin masih memilih langsung memijat atau pergi ke tukang urut.
Padahal hal tersebut justru bisa memperparah cedera.
Dokter Spesialis Bedah Ortopedi dan Traumatologi Konsultan RS Indriati Solo Baru, Sukoharjo, dr. Ariyanto Bawono, Sp.OT (K), menjelaskan pemijatan bisa menyebabkan peningkatan pendarahan dan bengkak pada area tubuh yang cedera. Pemijatan bahkan berpotensi memperberat kondisi dan memperlambat masa penyembuhan.
“Misalnya, pada saat olahraga, kemudian di-tackle oleh lawan, jatuh dan nyeri di lutut, pergelangan kaki, atau bagian tubuh lainnya sebaiknya jangan langsung dipijat,” kata dia saat diwawancarai Kompas.com belum lama ini.
Ariyanto menyampaikan kejadian cedera sangat umum terjadi pada atlet atau orang-orang yang secara rutin melakukan olahraga, terutama jenis olahraga kontak fisik atau ekstrem, seperti sepak bola, basket, hingga ski.
Pada masyarakat umum, cedera juga bisa terjadi, tapi kemungkinanya memang lebih kecil. Cendera pada masyarakat umum seringkali karena terpeleset atau kecelakaan lalu lintas.
Dokter yang praktik di Sport Injury Clinic ini menyarankan, jika mengalami cedera, siapa saja sebaiknya lebih dulu berkonsultasi dengan dokter.
Menurut dia, paling tidak dokter bisa menjelaskan atau memastikan lebih dulu masalah yang dialami pasien setelah cedera.
“Dokter akan mencari tahu apakah cedera yang dialami pasien itu ringan atau apakah ada cedera serius? Kalau ternyata serius, misalnya ACL (anterior cruciate ligamen) putus, kemudian dipijat di dukun atau sakal putung, kadang-kadang jadinya penanganan tidak pas, tidak bagus, malah semakin parah,” terang dia.
Ariyanto menjelaskan proses diagnosis terhadap kondisi pasien cedera bisa dimulai dengan pemeriksaan fisik. Dokter kemudian bisa melakukan diagnosis tanya jawab dan pemeriksaan klinis.
Dokter biasanya juga akan melakukan pemeriksaan penunjang, bisa dengan rontgen atau magnetic resonance imaging (MRI).
“Kalau kami curiga ada cedera ligamen, ya sebaiknya di MRI juga. Karena dengan di MRI, kami bisa mengetahui bener enggak terjadi cedera putusnya ACL atau putusnya ligamen yang lain,” jelas dia.
Selain melakukan diagnosis, dokter juga bisa membantu pasien dalam menentukan langkah penanganan cedera terbaik.
Jadi, dia menyarankan, sebaiknya urutannya jangan dibalik, pergi ke pengobatan alternatif dulu baru kemudian ke layanan medis ketika cederanya tidak kunjung sembuh. Hal ini, menurut Ariyanto, bisa jadi mempersulit proses pengobatan secara medis karena kondisinya sudah parah.
“Jika sudah ada gambaran terkait kondisi yang terjadi pascacedera dari pemeriksaan medis, pasien tetap memilih yang alternatif, nah itu monggo. Paling eggak mereka tahu dulu risiko-risikonya,” ujar dia.
Penanganan cedera secara medis
Ariyanto menyampaikan secara umum penanganan cedera dibagi menjadi dua macam, yakni non-operasi dan operasi.
Dia mencontohkan cedera ACL pada lutut. Menurut Ariyanto, pilihan penanganan non-operasi untuk kasus ini terutama berlaku untuk orang-orang usia sudah tua atau mereka yang memiliki aktivitas tidak terlalu banyak.
“Tindakan non-operasi bisa pakai decker, dikasi obat, fisioterapi penguatan otot-otot lutut,” jelas dia.
Sementara, menurut Ariyanto, bagi orang-orang usia muda, apalagi yang memiliki aktivitas tinggi, termasuk atlet, pilihan penanganan cenderanya lebih cocok dengan tindakan operasi. Ini karena operasi dinilai lebih memungkinkan bagi pasien untuk bisa kembali melakukan aktivitas seperti sedia kala.
“Misalnya, ada pemain basket jatuh, cedera ACL putus. Usianya masih 20-an tahun. Kami akan jelaskan, bahwa terapinya ada dua cara. Tapi karena masih muda dan aktivitas masih tinggi apalagi olahragawan, kami sarankan operasi. Dengan harapan, supaya nanti aktivitasnya bisa membaik lagi. Kalau dia hanya non-operasi, kemungkinan lebih kecil untuk menjadi seperti sedia kala,” jelas dia.
Saat ditanya biasanya butuh waktu berapa lama untuk sembuh setelah seseorang menjalani operasi karena cedera serius, dia menyebut kurang lebih 7-9 bulan, tergantung kondisi masing-masing pasien.
“Kalau ACL yang putus bisa 7-9 bulan baru bisa olahraga seperti semula lagi. Memang cukup lama. Tapi mungkin kondisinya bisa kembali seperti semula. Entah 98 persen atau 100 persen, tergantung dari rehabilitasi mediknya. Seberapa kuat keinginannya untuk menjalani fisioterapi, seberapa bagus menjalani latihan. Ini juga berpengaruh,” terang dia.
Ariyanto menyampaikan, dalam penanganan cedera olahraga lewat operasi, ada pilihan minimal invasif atau pembedahan.
Menurut dia, operasi minimal invasif memungkinkan bagi pasien untuk lebih cepat pulih dan merasakan efek samping lebih ringan.
“Kalau di tempat kami, operasi dilakukan dengan minimal invasif melalui tindakan rekonstruksi ACL dengan arthroskopi. Jadi tidak dibuka dengan sayatan yang lebar, tapi sayatan kecil-kecil,” terang dia.
Pentingnya pemanasan dan pendingan saat berolahraga
Dokter spesialis bedah ortopedi lain di RS Indriati Solo Baru, dr. Amir Purnama Sidi, Sp.OT, menjelaskan untuk meminimalkan risiko cedera otot, sendi, dislokasi hingga patah tulang, siapa saja perlu melakukan pemanasan dan pendingan saat berolahraga.
Menurut dia, cedera lebih besar kemungkinannya untuk terjadi ketika pemanasan dan pendinginan tidak dilakukan saat berolahraga atau dilakukan tapi kurang memadai.
“Sebagai gambaran, otot itu kan sama lebih kurang seperti mesin. Jadi memang harus dipanasi dulu kalau tidak mau cepat rusak,” jelas dia.
Amir mengingatkan pada dasarnya siapa saja tidak baik untuk memaksakan diri saat berolahraga.
Pasalnya, hal bukan hanya berpotensi menyebabkan cedera pada anggota gerak tubuh, tapi juga bisa membahayakan tubuh secara umum, termasuk organ jantung.
“Siapa yang mau olahraga sebaiknya tingkatkan intensitasnya secara perlahan. Jangan memaksakan diri,” terang Amir.
https://health.kompas.com/read/2021/09/14/110400668/cedera-saat-olahraga-sebaiknya-jangan-langsung-dipijat-ini-penjelasan-dokter