Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengatasi Depresi Cara Autofagi Tanpa Psikotropika

Salah satu jenis gangguan jiwa lain yang sering muncul adalah depresi. Pada masa pandemi ini dilaporkan meningkat kejadiannya.

Hal ini diduga akibat berkurangnya aktivitas di luar rumah. Lebih banyak beraktivitas di dalam rumah akibat kebijakan WFH.

Namun sebetulnya, yang paling besar pengaruhnya adalah asupan gula berlebih. Salah satu kebiasaan paling buruk pada saat WFH adalah makan camilan. Umumnya, camilan ini berbahan dasar karbohidrat. Berbagai jenis keripik jadi salah satu komoditas yang paling laris di masa pandemi.

Porsi cemilan yang tidak terlalu besar akan langsung diserap oleh jaringan saraf. Karena jaringan saraf adalah sel yang tidak membutuhkan insulin dalam menggunakan glukosa.

Sayangnya karena asupan dari saluran cerna, insulin tetap dirangsang untuk dilepaskan, meskipun porsi glukosa dalam camilan sedikit. Hal ini akan memicu kondisi hipoglikemi, akibat glukosa yang masuk telah terlebih dahulu digunakan sel saraf.

Kondisi hipoglikemi merangsang pelepasan glukagon. Glukagon akan merangsang pemecahan lemak menjadi glukosa.

Salah satu asam lemak yang ikut dipecah adalah leptin. Leptin memberikan sinyal rasa lapar ke otak. Mengakibatkan keinginan makan bertambah.

Asupan glukosa yang lebih dahulu digunakan jaringan saraf, memicu pembentukan dan pelepasan asetil kolin. Asetil kolin merupakan neurotransmitter yang berperan dalam proses berpikir.

Pembentukan dan pelepasan asetil kolin yang berlebih akan memicu perasaan tidak nyaman, gelisah. Kondisi rasa lapar dan pelepasan asetil kolin ditafsirkan sebagai perasaan tertekan.

Apalagi jika pada saat yang sama tidak ada makanan untuk memenuhi rasa lapar tersebut. Menahan lapar adalah salah satu bentuk mekanisme mental represi.

Represi adalah salah satu mekanisme mental dasar yang sering digunakan dalam menghadapi ketidak nyamanan.

Represi, merupakan mekanisme mental pertama yang digunakan seseorang dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Jika berlangsung lama dapat mengakibatkan gangguan mental.

Represi yang berlangsung lama dan tidak efektif mengakibatkan depresi. Secara neurologis disebabkan oleh pelepasan asetil kolin berlebihan. Pelepasan dan produksi asetil kolin berlebihan, dimungkinkan jika tersedia glukosa yang berlebih pula.

Depresi menimbulkan perasaan tidak nyaman. Tertekan, merasa gagal dalam kehidupan. Rendah diri dan berbagai bentuk perasaan negatif lainnya. Kadang pada keadaan berat berujung pada upaya untuk menyakiti diri sendiri. Bunuh diri.

Selama ini, secara medis diberikan berbagai obat antidepresan. Obat-obat ini umumnya bekerja dengan cara menginhibisi/menghambat kerja asetil kolin di reseptor saraf.

Sedangkan secara psikologis diberikan psikoterapi. Psikoterapi ini bersifat pemberian motivasi.

Akibatnya terjadi pemecahan asetil kolin di luar sel saraf hingga menimbulkan efek samping akibat mekanisme tersebut.

Umumnya terjadi gangguan sistem koordinasi, seperti diskinesia, tremor, kelelahan, kelemahan otot dan lain sebagainya. Normalnya, baik pembentukan maupun pemecahan asetil kolin berada di dalam sel saraf.

Pemecahan di luar sel juga akan mengakibatkan ke asaman darah meningkat. Hal ini akan mengakibatkan gangguan berupa terbentuknya kristal urin. Dirasakan sebagai rasa nyeri dan perih saat buang air kecil.

Masih banyak efek samping yang mungkin timbul dari pemberian antidepresan. Hal ini dapat diprediksikan berdasarkan cara kerja antidepresan tersebut. Tidak hanya berhubungan dengan kelainan neurologis semata. Juga yang berhubungan dengan metabolisme tubuh.

Sayangnya baik dengan psiko farmaka ataupun psiko terapi sering mengalami kegagalan. Ataupun jika berhasil bersifat sementara.

Kadang menimbulkan ketergantungan baik pada obat psikotropika ataupun terapis psikoterapi.

Memahami kaitan antara asupan glukosa dengan produksi asetil kolin faktor diet juga harus dipertimbangkan. Diet ini dimaksudkan agar terjadi efisiensi pelepasan asetil kolin.

Efisiensi produksi dan eksitasi asetil kolin hanya dimungkinkan dengan pembatasan asupan glukosa. Selanjutnya merangsang penggunaan glukosa oleh jaringan tubuh yang lain. Agar terjadi keseimbangan dalam penggunaan glukosa.

Dalam tehnik autofagi kita sebut selektif autofagi. Cara ini memungkinkan jaringan saraf melakukan autofagi. Melakukan efisiensi produksi dan eksitasi asetil kolin.

Tanpa melakukan selektif autofagi setiap glukosa yang dihasilkan akan lebih cepat digunakan oleh jaringan saraf. Apalagi pada saat glukoneogenesis insulin tidak terangsang untuk dilepaskan. Walaupun kadar glukosa darah meningkat.

Tak heran kita melihat, secara antropomorfis, penderita depresi cenderung kurus. Walau asupan makanan normal. Apalagi kecenderungan nafsu makan juga berkurang. Akibat penggunaan mekanisme mental represi berlebih.

Salah satu zat yang dapat digunakan sebagai selektif autofagi adalah kafein pada teh dan kopi. Pembatasan glukosa disertai dengan konsumsi kopi atau teh memicu autofagi di dalam sel saraf.

Hingga produksi dan pelepasan asetil kolin akan lebih efektif. Karena kafein meningkatkan metabolisme sel tubuh.

Selain teh dan kopi, aktivitas fisik seperti olah raga aerobik juga bersifat selektif autofagi. Dengan olah raga oksidasi di sel tubuh juga meningkat sehingga asupan ke jaringan saraf berkurang.

Cara selektif autofagi ini akan menghindari penggunaan psikotropika. Relatif tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya. Malah meningkatkan kebugaran. Dengan berolah raga, akan meningkatkan kerapatan mitokondria yang menyediakan tenaga ekstra.

Tidak ada pemecahan asetil kolin di luar sel hingga tidak akan meningkatkan keasaman darah. Efek samping akibat pemecahan di luar sel saraf tidak terjadi.

Yang terpenting, selektif autofagi, tidak hanya menghilangkan depresi, tapi juga menghasilkan cara berfikir yang lebih efektif hasil efisiensi produksi dan eksitasi asetil kolin. Maka psikoterapi yang diberikan akan lebih efektif.

Ini adalah penerapan mekanisme autofagi dalam gangguan jiwa/neurologis. Tidak hanya depresi tapi juga gangguan jiwa/neurologis lainnya. Termasuk gangguan berat seperti skizofren.

Jadi sangat luas penerapan prinsip autofagi dalam berbagai penyakit. Tidak hanya untuk penyakit diabetes atau degeratif lainnya. Juga untuk penyakit infeksi, penyakit kardiovaskuler bahkan dalam proses penyembuhan luka.

Semuanya bisa. Semuanya berhubungan dengan metabolisme energi. Inilah yang jadi pemahaman prinsip autofagi. Metabolisme energi.

Salam semoga menjadi inspirasi hidup sehat.

https://health.kompas.com/read/2022/08/06/063351068/mengatasi-depresi-cara-autofagi-tanpa-psikotropika

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke