Dia membagi tautan sebuah berita dan sekali lagi menanyakan kebenaran dari testimoni terkait kesuksesan diet seorang pesohor yang dramatis, tanpa disertai olahraga. “Kita jadi bingung, apakah benar cara diet seperti si artis itu ya…?” lanjut dia.
Harus diakui sebagian besar masyarakat hanya mengandalkan sumber-sumber berita serta informasi penting sebatas dari media sosial, yang kebanyakan sumbernya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kebiasaan membaca dari media arus utama, versi digital atau cetak, yang umumnya berbayar atau harus berlangganan, semakin tidak banyak dilakukan oleh masyarakat, termasuk teman saya tadi.
Kekuatan dan Sisi Gelap Media Sosial
Mudah untuk menjelaskan betapa sebagian besar masyarakat kita masih sangat menyandarkan sumber berita ataupun informasi penting dari media sosial. Data empiris menggambarkan, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat Indonesia.
Menurut DataReportal, sejak Januari 2022, sebanyak 191,4 juta orang Indonesia menjadi pengguna aktif media sosial, baik di YouTube, Facebook , Instagram, TikTok, Whatsapp, maupun Twitter. Angka tersebut setara dengan hampir 70 persen total populasi Indonesia, atau meliputi hampir semua orang usia 15 – 64 tahun.
Era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 telah menjadikan digital sebagai episentrum pertemuan lintas manusia juga budaya, sekaligus menghadirkan tantangan yang berbeda dan bisa jadi lebih berat ketimbang masa-masa sebelumnya.
Persoalan seperti fake news, post-truth, hingga the death of expertise hanya merupakan sedikit contoh akibat keberadaan era baru tersebut. Era yang tidak hanya menyajikan kemudahan, tetapi juga banyak tantangan baru dalam hidup.
Masyarakat, siapapun dia, nyatanya bisa beropini atau menyuarakan pendapatnya dengan mudah dan bebas, mampu memproduksi berita semaunya serta membentuk opini melalui platform media sosial.
Post-truth (pasca-kebenaran) merupakan istilah yang menggambarkan suatu keadaan di mana fakta obyektif memiliki pengaruh yang justru kurang signifikan dalam membentuk opini publik daripada emosi, keyakinan, dan pandangan pribadi. Dalam konteks ini, opini dan pandangan subyektif seseorang cenderung lebih memengaruhi pemikiran dan tindakan mereka daripada fakta-fakta yang dapat diverifikasi secara empiris.
Kamus Oxford pernah memilih post-truth sebagai word of the year pada 2016. Secara khusus, di zaman pasca-kebenaran, masyarakat tidak lagi memercayai fakta-fakta obyektif, tetapi mereka lebih merujuk pada sesuatu yang didasarkan atas kepercayaan atau emosi semata yang bahkan tidak didukung fakta.
Fenomena post truth dan meredupnya kepakaran seiring menyeruaknya berbagai alternatif informasi di ruang-ruang publik menjadi tantangan maha berat bagi kita terhadap banyak isu termasuk persoalan nutrisi dan kesehatan.
Meredupnya kepakaran sejatinya adalah cerminan perilaku kita saat ini di dunia maya. Adanya kelas sosial baru yang dicirikan dengan kebebalan dan bicara tanpa otoritas keilmuan yang memadai, dialog publik yang tidak memiliki ketelitian intelektual, serta banyaknya orang awam yang mengabaikan fakta, namun berani ’ugal-ugalan’ menyerupai para pakar.
Namun, hebatnya, mereka dapat menggerakkan dan membentuk ruang publik kita. Kebenaran dengan hoaks bisa ditukar sedemikian rupa, kemudian ditebar kesadaran palsu untuk sekedar memperoleh follower yang lalu bisa di-monetize.
Masih sangat banyak informasi yang tidak terverifikasi dan tidak dapat dipercaya, tetapi masih tersebar luas di internet dan media sosial. Hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan dan pada akhirnya malah akan merugikan masyarakat.
Masih banyak orang percaya bahwa garam Himalaya secara signifikan lebih sehat daripada jenis garam lainnya, meskipun tidak ada bukti ilmiah yang memadai untuk mendukung klaim ini. Demikian pula, ada banyak klaim tentang manfaat kesehatan dari suplemen, tetapi hanya sedikit penelitian yang mendukung klaim tersebut.
Belum lagi soal klaim superfood, yang lebih merupakan marketing gimmick daripada istilah ilmiah yang digunakan dalam dunia nutrisi dan kesehatan. Karena sejatinya tidak ada satu jenis pangan tunggal yang sanggup memenuhi semua jenis kebutuhan gizi untuk manusia. Sumber pangan haruslah tetap beragam.
Banyak orang sering membagikan artikel atau klaim tanpa memeriksa kebenaran atau keaslian sumbernya. Informasi yang menarik atau kontroversial sering kali menjadi mudah menjadi viral, bahkan jika klaimnya tidak didukung oleh fakta dan data-data ilmiah. Jika ada jurnal ilmiah yang digunakan pun, ternyata berasal dari jurnal lama yang sudah tidak up to date lagi.
Sebagaimana sifat dasar ilmu pengetahuan yang selalu berkembang dengan ditemukannya novelty atau kebaruan berupa kebenaran yang baru, yang akan menggantikan kebenaran yang lama, demikian seterusnya. Selain itu, ada juga banyak situs web yang mengklaim memiliki informasi yang akurat dan dapat dipercaya, tetapi sebenarnya hanya mencari keuntungan dari lalu lintas web mereka.
Situs web ini seringkali memberikan klaim tetapi tidak didukung oleh bukti ilmiah, atau bahkan mengandung informasi yang salah. Untuk melawan kualitas informasi yang buruk, penting bagi individu konsumen pangan untuk menjadi lebih kritis dalam memeriksa dan memvalidasi informasi yang mereka terima.
Ada beberapa cara untuk melakukan ini. Pertama, selalu pastikan untuk memeriksa sumber informasi sebelum memercayainya. Cobalah mencari sumber yang dapat dipercaya, seperti publikasi ilmiah atau situs web resmi dari organisasi kesehatan, semisal situs milik WHO atau Kemenkes RI.
Kedua, cek apakah klaim yang dibuat itu didukung oleh bukti ilmiah yang dapat dipercaya. Ini dapat dilakukan dengan membaca penelitian yang terkait atau mencari sumber yang dapat dipercaya yang memverifikasi klaim tersebut.
Ingat kaidah Evidence-Based Science (Ilmu berbasis bukti), di mana ilmu yang diperoleh dengan pendekatan yang menggunakan metode ilmiah yang melibatkan desain penelitian yang ketat, pengumpulan data yang obyektif, pengujian kontrol, dan analisis statistik.
Tujuan utamanya adalah memastikan kebenaran dan reliabilitas pengetahuan melalui bukti empiris yang teruji. Berbeda dengan Experiences-Based Knowledge (Pengetahuan berbasis pengalaman), pengetahuan yang umumnya hanya diperoleh melalui pengalaman pribadi, cerita pengalaman atau kesaksian (testimoni) orang lain, pengamatan, percobaan pribadi, atau sekedar penalaran dari pengalaman langsung.
Pengetahuan ini juga dapat berasal dari persepsi individu, intuisi, tradisi, atau kepercayaan pribadi. Meskipun pengetahuan berbasis pengalaman berharga dan dapat memberikan wawasan baru, kelemahannya adalah kurangnya kontrol yang ketat, kesulitan dalam menggeneralisasi, dan rentan terhadap bias dan kesalahan persepsi, sehingga sebaiknya dihindari.
Ketiga, waspadai bahasa yang digunakan dalam klaim tersebut. Klaim yang tidak memiliki sumber atau didukung oleh bukti ilmiah cenderung menggunakan bahasa yang emosional atau mengesankan. Hindari klaim yang terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan atau terdengar sangat negatif. Pilih klaim yang terdengar obyektif dan didukung oleh fakta.
Keempat, cari informasi dari sumber yang berbeda. Informasi yang sama dari sumber yang berbeda dapat membantu memastikan kebenaran informasi tersebut. Cobalah mencari sumber yang berasal dari penelitian terbaru dan terpercaya.
Terakhir, cek kredibilitas sumber informasi. Ada banyak sumber informasi yang tidak memiliki kredibilitas yang cukup, seperti blog atau media sosial. Pastikan untuk memeriksa kredibilitas sumber dengan mencari informasi tentang pengalaman dan kredensial yang dimiliki oleh penulis atau sumber informasi tersebut.
https://health.kompas.com/read/2023/05/08/100105968/narasi-nutrisi-dan-kesehatan-di-zaman-pasca-kebenaran