Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Film Biru, Seberapa Perlu?

Kompas.com - 16/09/2008, 23:14 WIB

Apalagi, sambung Gerard pada kesempatan terpisah, umumnya wanita tak begitu menyukai hubungan seks yang eksplisit. "Bagi mereka, itu bukan sesuatu yang menarik. Nah, jika suami berselingkuh dengan wanita yang mengerti keinginan pria, maka ia akan meniru apa yang dilihatnya di film dengan wanita teman selingkuhnya," tutur konsultan seks ini.

KOMUNIKASI DENGAN ISTRI
Begitulah, menonton film biru, kata ahli, boleh-boleh saja sepanjang dilakukan oleh pasangan suami istri. Tapi, itu pun hanya boleh dilakukan sesekali saja. "Jangan setiap kali mau berhubungan seks selalu menonton. Itu artinya sudah terobsesi!" tandas Boyke.

Selain itu, sebelum menonton, Boyke menganjurkan agar pasangan sebaiknya berkomunikasi lebih dulu. Jika istri menolak, suami harus bisa mengerti. Sebaliknya, istri juga harus menyadari bahwa pria memiliki fantasi-fantasi liar yang bisa terpenuhi lewat film sejenis itu. "Semua tergantung bagaimana kita menjalin komunikasi, kok!" tukas penulis buku seputar masalah seks dan organ intim ini.

Gerard pun sependapat, "Komunikasi memang sangat diperlukan sebelum memutuskan menonton atau tidak. Jika istri tak mau, ya, jangan dipaksa. Tentu istri juga harus toleran. Jika memang suami tak bisa terangsang tanpa melihat film biru, istri harus bisa mengerti. Yang penting, dibatasi hanya untuk meningkatkan mood saja."

JADI SALAH PERSEPSI
Hal lain yang harus diperhatikan, kata Gerard, suami-istri sudah harus tahu mana yang benar dan mana yang tidak sebelum menonton film biru. Soalnya, tak sedikit film jenis itu dibuat bukan dengan tujuan memperbaiki suatu hubungan seks yang kurang baik atau untuk menambah hubungan seks yang sudah baik. "Banyak, kok, yang dibuat hanya semata bersifat komersial. Oleh karena itu, pembuatannya pun tak ilmiah," ujar konsultan perkawinan ini.

Karena tidak ilmiah, lanjut Gerard, film biru bisa menimbulkan suatu persepsi yang keliru tentang salah satu aspek seksual, khususnya dalam hubungan seks pria-wanita. "Persepsi yang keliru ini bisa menimbulkan perilaku yang keliru pula," tandasnya. Misalnya saja, dalam film digambarkan, semakin besar ukuran alat kelamin pria, semakin jantanlah dia. "Akibatnya, setelah menonton, alat vital suami yang sebetulnya berukuran normal, bisa-bisa dianggap kurang oleh istri. Dan jika itu diucapkan istri di hadapan suami, jangan salahkan suami bila ia tersinggung dan harga dirinya hancur," kata Gerard.

Belum lagi, tambah lulusan FKUI ini, film biru juga bisa menimbulkan ide "bengkok" tentang hal-hal yang secara ilmiah sudah dibenarkan. Contohnya tentang ukuran penis yang sebetulnya tak berpengaruh terhadap kepuasan seks wanita. "Kepuasan seks wanita tak ditentukan dari besar-kecil ukuran alat kelamin pria. Tapi karena di film digambarkan begitu, istri jadi salah persepsi," ujarnya.

Selain tak ilmiah, banyak film biru yang dibuat dengan kualitas tak baik dan pengambilan gambar diatur sedemikian rupa hingga menimbulkan kesan hebat. "Dengan kata lain, ada unsur penipuan demi komersialisasi," papar Gerard.

Unsur positif dan negatif, memang selalu ada dalam setiap hal. Begitu pula pada film biru. Ia akan menjadi positif bila kita berangkat dari paradigma yang positif dan menggunakannya untuk hal-hal yang positif pula.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com