Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Kenal Maka Tak Sayang

Kompas.com - 02/11/2009, 09:57 WIB

Islam fobia. Kata itu sering saya dengar sebelum saya menetap di Perancis. Ada kelompok masyarakat, terutama di Barat, mengidentikkan Islam sebagai agama yang tidak ramah. Mulanya, saya tidak mengerti kenapa muncul pandangan ini. Sebab, sebagai muslim saya memahami Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian.

Setelah hampir 10 tahun saya menetap di negara suami saya ini, barulah saya melihat kenapa salah pandang ini bisa muncul. Urusan salah pandang ini, ternyata tidak hanya menyangkut soal agama tapi juga perbedaan kulit.

Di Perancis, bolehlah dibilang, Islam terepresentasikan oleh kehadiran bangsa Maghreb. Maghreb merujuk pada kawasan Afrika Utara. Secara umum mereka yang disebut bangsa Maghreb adalah masyarakat Maroko, Aljazair, Turki dan Tunisia. Islam adalah agama mayoritas di negara-negara itu. Bangsa ini banyak datang ke Perancis sebagai imigran.

Di kota saya Montpellier ada  dua daerah yang biasanya kami sebut sebagai daerah Arab. Maksudnya, di kawasan itu banyak tinggal orang-orang Maghreb. Selain bangsa Arab ada banyak bangsa-bangsa lain yang tinggal di negeri ini. Semangat Revolusi Perancis di akhir abad 18 yang megobarkan slogan liberte, fraternite, et egalite (kebebasan, persaudaraan, dan persamaan) mungkin menjadi salah satu dasar kenapa negeri ini cukup toleran menerima kehadiran bangsa-bangsa lain. Tak heran, Perancis merupakan salah satu negara Eropa yang penduduknya heterogen.

Kembali ke bangsa Maghreb, orang-orang Arab dari Afrika Utara ini menetap di Perancis dengan membawa aneka tradisi mereka. Mulai dari cara berpakaian, bahasa, dan perilaku. Sangat terasa, kawasaan Arab di Perancis menampilkan suasana yang khas, termasuk di Montpellier. Bolehlah dibilang, bangsa Maghreb ini adalah entitas masyarakat sendiri di Perancis. Adik ipar saya dulu memilih tinggal di kawasan Arab, karena dia begitu menyenangi suasananya yang ramai dan tak pernah mati.

Ketika menetap di Perancis saya mencoba membuka mata, meluaskan pikiran dan melapangkan dada.  Saya memang tetap bangsa indonesia, lidah saya tetap kental sunda dan sambal goreng pete selalu menjadi makanan kesukaan saya. Namun, ketika saya menjadi penghuni Perancis, hati saya harus ikhlas dibagi dua. Bahasa setempat pun wajib saya kuasai, selain agar lebih membaur juga tujuan utamanya adalah biar ngerti kalau diomongin tuh bule-bule. Peraturan yang berlaku di negara kedua saya ini juga wajib saya kenal. Bahkan berkat anak sulung saya, wawasan saya mengenai sejarah Perancis semakin bertambah.

Nah, bangsa Maghreb ini agak berbeda. Mereka tinggal berkelompok di suatu kawasan. Banyak dari mereka yang tidak menguasai bahasa Perancis.  Sebagai imigran, mereka seperti tidak membuka diri terhadap kebudayaan dan penduduk setempat. Menetap di negeri lain tidak memperluas diri mereka, bahkan dari segi bahasa.

Mungkin karena mereka tidak menguasai bahasa Perancis ini, pembauran dengan penduduk asli menjadi hambatan. Kesan ekslusif sebagai penduduk Arab di negara orang menjadi gambaran yang sangat disayangkan bagi saya. Tertutup memang seringkali menimbulkan kesan tak ramah. Bisa memunculkan salah paham.

Melihat bangsa ini dari luar memang memunculkan kesan negatif.  Padahal, ketika akhirnya saya dan Kang Dadang berkesempatan mengunjungi Turki dan Maroko, keramahan dan kekeluargaan bangsa Maghreb ini sempat membuat saya menangis terharu saat meninggalkan kedua negara tersebut.

Salah pandang

Tak kenal maka tak sayang. Salah pandang karena tak kenal dengan baik, begitulah. Dan, hal inilah yang seringkali menjadi penyebab kesalahpahaman orang Perancis dan masyarakat Barat pada umumnya dalam memandang Islam. Mereka tak bisa disalahkan sepenuhnya. Aneka berita yang berseliweran di layar televisi banyak mengabarkan aksi-aksi teror yang terjadi di negara-negara Islam. Yang sangat disesalkan, banyak aksi-aksi terkutuk itu mengatasnamakan Islam. Media di sini cukup fair sih. Aksi-aksi kekerasan yang terjadi di negara-negara non Muslim juga disiarkan. Kekejaman Israel terhadap bangsa Palestina pun ditayangkan dengan gamblang.

Namun, tidak bisa dipungkiri, berita-berita yang diwartakan media sedikit banyak berpengaruh bagi citra Islam di benak orang Perancis.  Tak sedikit yang berpandangan Islam itu keras dan menakutkan. Mertua saya pun awalnya berpandangan demikian. Ketika tahu anak mereka (David Massabuau alias Kang Dadang) akan mengikuti pertukaran pelajar di Indonesia yang notabene merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam mereka sangat khawatir.  

Teman-teman Perancis yang sudah lama mengenal kami terkejut bukan main ketika mengetahui bahwa saya dan Kang Dadang adalah seorang  muslim.  

“Kalian Islam? Loh, kok kamu tidak pakai penutup kepala? Dan kenapa tidak menutup badan kamu layaknya orang Islam lainnya?,” tanya mereka heran.

“Dan,....David,  dia menjadi mualaf juga? Karena alasan apa? Karena menikah dengan kamu tentunya ya. David tak ada tampang muslim sedikitpun,” cecar mereka lagi.

Saya balik bertanya, memang menurut mereka Islam itu seperti apa sih? Apakah menjadi seorang muslim itu mensyaratkan tampang tertentu?

Begini umumnya mereka menjawab,

“Sebenarnya kami tak terlalu kenal soal Islam, karena kamu tahu Dini, kami orang Perancis tidak terlalu mempedulikan soal agama. Hanya bila melihat berita di televisi, jujur saja, kadang membuat kami sedikit waspada akan Islam. Makanya kami heran, ternyata Islam itu bisa moderen juga seperti kalian.”  (Saat itu mereka baru tahu kalau  Indonesia adalah negara berpenduduk Islam terbesar di dunia)

Mereka melanjutkan,

“Orang Islam itu, setahu kami bila mereka memang muslim yang mempraktikkan agamanya adalah wajib berjilbab bagi wanitanya, bahkan menutup seluruh tubuhnya, dan bagi pria wajib berjenggot.”

Seorang teman dekat saya nyeletuk,

“Kamu jangan salah paham ya Dini, saya punya sepupu perempuan yang menikah dengan orang Aljazair. Sepupu saya itu menjadi mualaf bahkan berjilbab. Tapi, saya lihat ia begitu bahagia. Apalagi, kata sepupu saya itu, suaminya tak pernah memukulnya.”

Kata “memukul” yang ia ucapkan menarik perhatian saya. Saya tanya, kenapa mesti memukul? “Lho, bukankah dalam Islam adalah hak seorang suami untuk memukul istrinya ketika si istri melakukan kesalahan atau membangkang suaminya?” jawab mereka.

Astagfirullah! Sedih sekali hati saya mendengar jawabannya.

Tidak ada kekerasan

Saya jelaskan pada mereka bahwa sesungguhnya tidak ada kekerasan dalam Islam. Seseorang bisa dikatakan muslim ketika  tangan dan mulutnya tidak membawa ancaman bagi sekelilingnya. Jadi, tidak benar bila berperilaku kasar dibenarkan dalam Islam, justru Islam sangat menjunjung tinggi wanita.

Ibu, kakak dan masih banyak saudara wanita saya yang berjilbab. Namun, hidup mereka sama sekali tidak terkungkung. Ibu saya seorang pengusaha, kakak saya seorang dokter. Bahkan, saya tambahkan, istri Nabi yang pertama pun juga seorang pengusaha. Dalam ajaran Islam, sampai tiga kali Nabi Muhammad SAW menyatakan urutan orang yang harus dihormati yaitu ibu, ibu, dan ibu.

Selama berjam-jam kami berdiskusi tentang masalah ini. Saya minta pada mereka untuk tidak menyamakan antara agama dengan kebiasaan yang dianut oleh suatu bangsa karena semata-mata mayoritas agama di negara itu adalah Islam.

Banyak sekali yang mereka tidak tahu mengenai agama yang  saya peluk ini. Sama seperti pandangan saya yang salah terhadap ketakutan mereka terhadap Islam. Semua hanya karena selama ini kami melihat dari luar saja tanpa mengenal lebih dalam.

Manusia bila sudah mengenal apalagi jika dikenalkan secara lembut kemungkinan hasilnya pun baik. Buktinya, seperti yang pernah saya tulis, teman-teman Perancis kami selalu semangat ikut buka puasa bersama kami, walaupun karena kepengin sama makanannya.

Keluarga suami pun selalu menghindari menghidangkan makanan yang dilarang Islam. Setiap lebaran, mertua saya tak pernah lupa memberikan pakaian baru layaknya tradisi di Indonesia. Begitu pula saat natal kami selalu turut serta demi menghormati kebudayaan mereka.

Mereka, orang-orang Perancis yang kami kenal, begitu menghargai kami sebagai muslim. Bahkan, ketika anak kedua kami, Bazile, lahir, acara aqiqah dilangsungkan di kediaman orang tua Kang Dadang, berlangsung secara Islam, dipimpin oleh orang tua saya, dan diramaikan oleh kedua bangsa: Perancis dan Indonesia.

Keluarga dan teman Perancis tak canggung sedikipun ketika melantunkan shalawat saat rambut anak kami digunting, bahkan mereka meminta kata-kata shalawat itu dicetak agar mereka bisa ikut bersenandung bersama kami. Mereka melakukan untuk menyemarakkan suasana.

Saya hanya berpikir, dulu saya pun banyak salah pandang mengenai orang Barat. Mungkinkah mereka juga sering merasa ketakutan karena tak mengenal baik. Tak kenal maka tak sayang. Setelah kenal hati menjadi lapang. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com